Kamis, 26 Juli 2012

FPI Tidak Membela Islam


FPI Tidak Membela Islam

BY AZIZNAWADI
There was no tradition of religious persecution in the Islamic empire
Tidak ada tradisi persekusi dalam sejarah Islam. (Karen Armstrong)
Baginda Rasul tidak pernah mengutus Saidina Mua’dz bin Jabal ke Yaman sebagai seorang persekutor, akan tetapi sebagai penebar kedamaian dan kesejahteraan. Sebagai pengenal tentang toleransi Islam dan tentang Rasul yang hanya terutus untuk mengasihi alam. Apabila kemungkaran telah merajalela, maka Islam pun tidak akan pernah kehilangan hikmahnya, ia agama yang penuh kebijaksanaan, ia mampu merubah kekejian dengan hati, lidah maupun lisan. Islam anti ekstrimisme, Islam tidak brutal, Islam tidak anarkis, Islam tidak teroris dan Islam tidak mengenal mereka yang bertakbir dengan suara keras sementara hati buta terhadap kebesaran Tuhan !!
Awalnya, penulis prihatin melihat realita yang menyesakkan nafas dunia, namun seiring dengan lahirnya pendekar-pendekar kesiangan, penulis justru menggelengkan kepala seraya mempertanyakan latar belakang kependekaran tersebut. Mengapa bumi yang kering dan haus akan kesegaran air langit malah dihujani darah-darah menyeramkan?! Bumi Tuhan yang mengemis kasih sayang malah disedekahi peluru dan bebatuan !! Bukan hanya musuh Islam yang kerisihan, umat Islam pun merasa ketakutan, bahkan seluruh jagad raya tak lagi menikmati kenyamanan.
Percaya atau tidak, FPI, IM, HT, NII dan yang sehaluan, sama-sama mengidamkan kalimat Allah menjadi yang tertinggi, dan kalimat orang-orang kafir menjadi yang terkubur. Akan tetapi bertahun-tahun lamanya kelompok-kelompok itu bertualang, tidak ada hasil yang semakin menjadi-jadi selain Islam menjadi agama yang tercemar. Islam tak lagi mengembara dengan hikmah serta mau’izah hasanahnya, akan tetapi Islam sudah ditenggelamkan dalam lautan darah yang dipenuhi ikan hiu, dan ikan-ikan hiu itu masih saja liar dan mengomandokan “Seek and Destroy” !! Semua makhluk yang kontra terhadap ikan-ikan hiu itu harus dibasmi dan dibunuh demi sebuah angan-angan hampa dan keotoriteran yang tak kenal batasnya. Hanya Allah yang Maha Tahu, semoga saja ini sekedar kesalahpahaman penulis tentang visi dan misi serta manhaj mereka.
Perbedaan persepsi tentang trik-trik mengubah kemungkaran sebagaimana yang dituntun Islam adalah sebab utama terjadinya goncangan tersebut. Namun meski perbedaan pola pikir itu sudah menjadi keniscayaan, maka perbedaan agama, aqidah dan kepercayaan pun lebih niscaya dan lumrah, sehingga tidaklah patut menerapkan pemaksaan kehendak di tengah-tengah masyarakat yang sedang memerlukan naungan. Terjadinya pengendoran aqidah pun janganlah dibalas dengan kekerasan, sebaiknya aqidah itulah yang dikukuhkan kembali dengan upaya yang lebih fairdan sportif. Akan lebih indah jika penyesatan itu musnah dengan sendirinya daripada diakhiri secara paksa, sebab pengakhiran secara paksa itu disamping berani menentang sunnah Tuhan, ia akan menghembuskan angin-angin permusuhan yang lebih sangar dan brutal dimasa mendatang.
Sebagaimana Rasulullah Saw. yang enggan menghancurkan patung-patung sesembahan jahiliyah, konsentrasi beliau saat itu hanyalah menanamkan tauhid dalam keyakinan para sahabat, sehingga patung-patung itu walau masih berdiri tegak mengelilingi ka’bah namun telah membangkai dengan sendirinya (tak ada satupun menyembahnya). Rasulullah Saw. tidak perlu membunuh para “penjahat”, beliau yakin bahwa membunuh “kejahatan”lah yang lebih tepat. Kita tidak perlu membunuh atau mengubur hidup-hidup “orang-orang kafir”, lebih indah bila “kekufuran” itulah yang disiksa mati-matian. Itulah rahasianya mengapa hati menjadi alat terkuat untuk mengubah kemungkaran dan bukan yang terlemah sebagaimana penafsiran banyak orang !!
Rasa cinta sesama muslim telah menjadi bagian yang amat signifikan dalam diri dan hati penulis. Tidak ada kata benci untuk siapapun yang berbeda dengan penulis. Dan memang tidak efektif apa yang penulis sampaikan dalam catatan ini. Hanya saja, pesan ikhlasku, marilah kita benahi kembali apa yang telah menjadi santapan sehari-hari, jikalau ada racun yang tersmbunyi, kita buang dengan senyum dan senang hati. Jikalau Roy salah, biarlah Muhammad yang memperbaiki, janganlah Roy disiksa sampai mati. Bila Roy ngeyel dan ngotot bela diri, pasrahlah kepada Ilahi Robbi, masih banyak yang perlu dan mau diobati. “Fa’in azamta fatawkkal alallah“. “Wama alaika illal-balagh“.
Jujur, penulis tidak kuat lagi melanjutkan catatan ini, perasaan ini sulit terungkap. Tanda tanya itupun sulit terjawab. Biarlah Sang Tuhan yang menjustifikasi.

Berkilau Tak Selamanya Permata (2)


Berkilau Tak Selamanya Permata (2)

BY AZIZNAWADI
Siapapun tidak dapat menyangkal mayoritas umat Islam yang notabenenya taat beragama di Tanah Air tidak respek sedikitpun dengan program Baratisasi. Semua yang berasal dari Barat sudah dicap sangat negatif dan pasti memunahkan keimanan. Meski tidak 100 persen benar, penulis masih memaklumi dan mau-mau saja meng-iya-kan persepsi tersebut. Akan tetapi yang lebih riskan bagi penulis bukanlah Baratisasi, melainkan Arabisasi yang acapkali disinonimkan dengan Islamisasi. Apabila Islam telah dilegitimisir sebagai agama yang berkewarganegaraan Arab, otomatis seluruh orang Arab telah sempurna keislamannya, bukan?.
Silahkan tolak Baratisasi melalui bermacam alasan selagi diterima akal sehat dan hati nurani, selagi untuk maslahat jati diri bangsa, dan demi melindungi perangai generasi muda. Tapi haruskah kemudian Arabisasi di-support karena dipandang akrab dengan Islam?. Inilah yang juga harus ditolak mentah-mentah agar tidak justru memfitnah Islam itu sendiri!.
Mungkin, contoh paling konkritnya adalah soal pakaian. Setiap tokoh atau pemuka Islam di Indonesia dan juga di banyak negara asing lainnya (yang bukan Arab) nyaris diidentikkan berjubah dan bersorban, konon karena Rasulullah Saw. selaku panutan teragung umat Islam memakainya dan tidak pernah memakai yang lain. Alasan seperti itu terlalu keruh dan dangkal. Mengapa demikian?.
Jikalau benar Rasulullah Saw. adalah panutan teragung umat Islam yang harus ditiru -secara lebih- oleh para da’i dan ulama khususnya, maka bukankah beliau memakai pakaian tersebut semata-mata karena mengikut tradisi setempat?. Semestinya pulalah para ulama memakai pakaian setempat jika memang benar meniru beliau. Kostum beliau tidak berbeda dengan kostum para sahabat, bahkan kostum Abu Lahab pun sama. Beliau tidak suka tampil beda dalam berpakaian karena tidak ingin memberatkan yang lain, sebagaimana pernyataan Mufti Mesir, Syaikh Ali Jum’ah dalam kitabnya al-Mutasyaddidun. Maka sudah seharusnya kostum para ulama di Indonesia pun tidak berbeda -apalagi berbeda jauh- dengan kostum masyarakat setempat, baik muslim maupun non-muslimnya!.
Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, Nasa’i, dan Syaukani dinyatakan, “Barangsiapa berpakaian untuk mendapat popularitas, maka di akhirat nanti ia akan memakai pakaian kehinaan“. Kostum popularitas di sini oleh ulama ditafsirkan sebagai kostum pemikat perhatian yang tak diperlukan; agar dikatakan hebat, alim, shalih, dan sebagainya.
Imam Ahmad bin Hanbal Ra. saja sebagai penggagas mazhab fikih terakhir dalam Islam, pernah menjumpai seseorang memakai jubah yang kebetulan bukan merupakan kostum bangsanya. Imam Ahmad dengan tegas menegurnya: “Lepaskan jubah ini dan pakailah pakaian bangsamu. Kalau saja kamu sekarang di Makkah atau Madinah, saya tidak akan menegurmu seperti ini”. Lihat Kitab Ghidza’ul Albab karya Syaikh Muhammad as-Safarini.
Dalam kitab yang sama, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani Ra. sebagai pendiri salah satu tarekat sufi induk dalam Islam, pun turut memperingati: “Di antara pakaian yang tidak baik adalah pakaian yang mengundang perhatian, seperti pakaian yang tidak mengikut tradisi setempat. Maka sebaiknya kamu memakai apa yang mereka pakai, agar tidak menjadi buah bibir mereka, yang kemudian memancing ghibah di antara mereka”.
Syaikh Ali Jum’ah dalam kitab al-Mutasyaddidun-nya menyimpulkan, bukanlah sunnah bila seseorang memakai jubah dengan alasan meniru Rasul. Justru yang sunnah adalah memakai pakaian setempat selagi tidak melanggar tatanan syariat dalam berpakaian (tidak membuka aurat, tidak transparan, dan tidak membentuk). Jubah sebagai pakaian Arab justru menjadi kostum popularitas yang dibenci Rasul bila dipakai di negeri asing!.
Mungkin saja ada yang mencoba berdalih, di Indonesia sudah menjadi tradisi bila seorang pemuka Islamnya berpenampilan beda dengan jubah, sorban, dan tongkat, jadi itu sudah bagian dari tradisi juga. Nah, justru tradisi seperti itulah yang wajib dikikis, karena sudah jelas tidak sehaluan dengan apa yang dicontohkan Rasulullah Saw. sebagai pemuka Islam yang sesungguhnya!.
Akibatnya, Islam diidentikkan dengan Arab, dan orang awam yang tak berdosa dengan mudah terpedaya oleh banyaknya ulama-ulama tak becus yang hanya mengandalkan kecakapan retorika dan penampilan yang berbeda. Dari sini penulis mengajak pembaca, mari dengan seperlahan-perlahannya kita sembuhkan kedangkalan berpikir kaum muslimin di Tanah Air tercinta, dan kita selamatkan umat jelata dari tipuan para pengaku ulama. Sebab, berkilau tak selamanya permata!

Berkilau Tak Selamanya Permata (1)



BY AZIZNAWADI
Begitu fenomenal di akhir zaman ini kemunculan da’i-da’i temporal yang sibuk berpetuah tanpa latar belakang yang memadai, dan semata-mata untuk menggapai harta dan popularitas. Tidak menguasai prinsip-prinsip agama, dan hanya mengandalkan bacaan sejumlah buku, sudah berani berftawa dan mengutip perkataan para imam tanpa referensi yang jelas. Sayangnya, banyak juga yang mau mendengarkan mereka!.
Jangan mengira mereka berhasil memikat banyak jamaah karena kehebatan yang mereka miliki. Mereka tidak mempunyai pijakan yang kokoh, bak burung yang hanya muncul tiba-tiba dan terbang setinggi-tingginya namun pada akhirnya terjatuh juga. Sudah banyak contoh para da’i yang bermunculan tiba-tiba dengan gaya-gaya memukau di minbar-minbar, stasiun-stasiun televisi, kaset-kaset, buletin-buletin, bahkan mall-mall, namun pada akhirnya menghilang begitu saja!.
Demikianlah prihatin guru besar hadits Universitas ‘Ain Syams Kairo, Prof. Dr. Muhammad Fu’ad Syakir yang konsentrasi magisternya di bidang tasawuf dan doktoralnya di bidang hadits. Setelah menguraikan keprihatinannya itu melalui majalah Tasawuf Islami Mesir edisi September 2009, ia kemudian menambahkan: “Maraknya kemunculan para da’i tak becus itu sebab paling mendasarnya ialah kelupaan umat terhadap instruksi Tuhan yang mengatakan “Bertanyalah kepada ahli dzikir jika kamu tidak mengetahui“”!.
Sependapat dengan Mufti Mesir, Dr. Ali Jum’ah ketika menyayangkan munculnya sejumlah da’i yang tidak berilmu sedikitpun dan hanya memiliki kecakapan beretorika saja. Para da’i semacam itu sama sekali tidak pantas dijadikan panutan, sebab perkara ceramah dan nasehat-menasehati, santri-santri pun banyak yang hebat. Tapi soal ilmu, hanya orang-orang pilihan saja yang dapat anugerahnya. Lihat kitab al-Mutasyaddidun karya Syaikh Ali Jum’ah, terbitan Darul Muqattam Kairo, cetakan I tahun 2011, hal. 150.
Dalam Shahih Bukhari, Saidina Ibnu Mas’ud telah mengingatkan terlebih dahulu: “Kalian sekarang hidup pada zaman dimana ahli fikihnya lebih banyak daripada ahli retorikanya. Namun akan datang suatu zaman nanti dimana ahli fikihnya sedikit dan ahli ngomong-nya sangat banyak”!. Dan kemudian terbukti oleh Ibnul Jauzi dalam kitab Talbis Iblisketika ia menyebutkan, para da’i terdahulu benar-benar memiliki ilmu yang menyelamatkan umat. Namun kini, ilmu sudah tidak penting lagi. Orang-orang lebih tertarik pada dongeng-dongeng dan lelucon-lelucon saja!.
Imam adz-Dzahabi dalam kitab Siyar A’lam an-Nubala’ juga turut mengingatkan: “Terdapat sekelompok orang yang disebut ulama, padahal mereka tidak punya ilmu apapun dan tidak dapat mengantar kepada Tuhan, sebab mereka tidak mengikuti seorang syaikh. Orang-orang semacam itu bagai lalat yang sibuk berdengung saja”!. Senada dikemukakan oleh tokoh IM asal Syria yaitu Syaikh Sa’id Hawwa bahwa, da’i tulen yang sanggup memberikan petunjuk (setelah Allah dan Rasul-Nya) adalah Wali Mursyid. Para wali mursyid itu merupakan pewaris-pewaris sempurna para nabi di bidang dakwah kepada Allah Swt. sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Kahf ayat 17: “Dan barangsiapa disesatkan Allah, maka kamu tidak akan menemukan baginya seorang wali mursyid“. Lihat kitab Tarbiyatuna ar-Ruhiyyah karya Syaikh Sa’id Hawwa, terbitan perpustakaan Wahbah Kairo, cetakan V tahun 2005, hal. 217.
Berangkat dari peringatan-peringatan berharga di atas, maka waspadailah da’i-da’i tak becus yang terus bermunculan di akhir zaman ini. Jangan mudah terhipnotis oleh rayuan semu mereka, atau ideologi anda menjadi dangkal alias “Mudzabdzabina baina dzalika la ila ha’ula’ wala ila ha’ula’. Waman ydhlilillahu falan tajida lahu sabila” (QS. an-Nisa’: 143)

Minggu, 22 Juli 2012

Menyapa Budaya Indonesia dari Bumi Kinanah 2 ( Pariwisata )

Pada suatu malam penulis naik bus ke Hurugada, dalam rangka Summer Tour Hurugada With Fosmagati. Kami serombongan berjumlah sekitar 54 orang dari berbagai kekeluwargaan. Bus pun berjalan sekitar jam 03.00 dini hari waktu Kairo. Dalam perjalanan dengan cermat penulis amati pemandangan yang ada hanya gurun pasir yang sangat luas terhampar. Pada hari kedua penulis melanjutkan perjalanan, sampailah pada sebuah pulau (Paradise) yang menjadi idaman setiap pelancong dari berbagai manca negara, oohh..ternyata itupun hamparan pasir yang sangat luas tanpa pepohonan satupun ya begitulah daerah Timur Tengah. Lain halnya dengan obyek wisata indonesia pepohonan yang rindang dan rerumputan menghiasi negri yang elok terhamar di seluruh negeri.

Indonesia adalah negara yang kaya raya dengan sumber daya alam dan sumber daya budaya yang melimpah. Bangsa kita merupakan bangsa yang serba multi, baik itu multi-insuler, multibudaya, multibahasa, maupun multiagama. Kesemuanya itu bila dikelola dengan baik dapat dijadikan sebagai potensi untuk memakmurkan rakyat dan memajukan bangsa kita.

Sayangnya, dalam wacana pariwisata budaya di tingkat nasional, yang seringkali dijadikan rujukan dan contoh adalah pariwisata di Bali. Seolah-olah hanya daerah Bali yang hanya bisa dimajukan pariwisata budayanya untuk menarik kunjungan baik wisatawan nusantara maupun mancanegara. Tidak salah memang bila kita membanggakan keberhasilan Bali sebagai daerah tujuan pariwisata dunia yang telah menghasilkan sumbangan devisa terhadap negara dalam jumlah besar. Namun bila kita terjebak hanya mengandalkan satu daerah Bali saja, maka kemajuan pariwisata Indonesia akan mengalami ketergantungan yang sangat tinggi terhadap daerah tersebut. Hal ini terbukti, ketika di Bali terjadi tragedi bom yang diledakkan oleh kaum teroris, maka penerimaan devisa negara kita di bidang pariwisata menjadi anjlok.

Kemajuan pariwisata budaya di Bali sangat ironis dengan kondisi pariwisata budaya di daerah-daerah Indonesia lainnya. Di Subang, Jawa Barat misalnya, sepuluh tahun yang lalu, anak-anak remajanya masih banyak yang berminat untuk belajar tari jaipong, sisingaan, dan menjadi dalang wayang golek. Hampir setiap minggu dan dalam acara ritual kehidupan selalu diundang pentas sebagai hiburan budaya yang meriah. Saat ini, ketika teknologi semakin maju, ironisnya kebudayaan-kebudayaan daerah tersebut semakin lenyap di masyarakat, bahkan hanya dapat disaksikan di televisi dan Taman Mini. Padahal kebudayaan-kebudayaan daerah tersebut, bila dikelola dengan baik selain dapat menjadi pariwisata budaya yang menghasilkan pendapatan untuk pemerintah baik pusat maupun daerah, juga dapat menjadi lahan pekerjaan yang menjanjikan bagi masyarakat sekitarnya.

Pariwisata Budaya

Ada banyak cara sebenarnya untuk memajukan pariwisata negara kita. Memang untuk memajukan pariwisata budaya bukan hanya tugas pemerintah tetapi juga masyarakat kita. Namun tentunya Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, serta Dinas Pariwisata di seluruh daerah di Indonesia, sebagai instansi pemerintah yang bertugas memajukan kebudayaan dan pariwisata Indonesia, memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Pertama, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata sesuai dengan fungsinya yang hanya sebagai perumus kebijakan, harus berani dan tegas menentukan konsep, visi, dan misi pariwisata budaya Indonesia. Keberanian untuk menyepakati konsep pariwisata dan budaya juga harus dilakukan karena dalam dunia akademik tidak akan pernah disepakati kedua konsep tersebut yang disebabkan oleh selalu adanya dialektika antara temuan dan pemikiran cendekiawan satu dengan yang lainnya.

Kedua, sesuai dengan semangat otonomi daerah yang menyerahkan tugas pengembangan kebudayaan dan pariwisata kepada Dinas Pariwisata di masing-masing daerah, maka Dinas Pariwisata harus benar-benar menangkap pelimpahan tugas dan wewenang itu sebagai peluang untuk memajukan masyarakat di daerahnya. Sebagai contoh, dengan kekayaan budaya yang kita miliki, maka di setiap kabupaten atau kota Dinas Pariwisata minimal dapat mendirikan satu pusat atau sentra pariwisata budaya yang menampilkan keanekaragaman budaya di wilayahnya masing-masing. Bentuk konkretnya adalah didirikannya semacam Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di masing-masing daerah bersangkutan.

Ketiga, para pengamat pariwisata dan budaya sudah saatnya untuk lebih mengutamakan kajian dan penelitian yang merekomendasikan bagaimana memajukan kebudayaan dan pariwisata Indonesia dibandingkan dengan kajian dan penelitian yang selalu memberikan kritik yang belum tentu konstruktif terhadap kebijakan pembangunan pariwisata dan budaya, yang seringkali justru menyebabkan ketakutan pada instansi pemerintah untuk mengambil kebijakan.

Keempat, peran serta masyarakat dalam pembangunan sentra-sentra budaya di masing-masing daerah harus diutamakan. Misalnya, kelompok-kelompok kebudayaan dan kesenian yang akan dipentaskan harus bergiliran dan tidak dimonopoli oleh kelompok kesenian tertentu saja. Di samping itu, anggota masyarakat sekitar juga harus diutamakan untuk direkrut mengelola sentra budaya bersangkutan dengan diberikan pendidikan dan pelatihan terlebih dahulu.

Bila pembangunan pariwisata budaya ini dapat segera dilakukan dengan terarah dan berkesinambungan di seluruh daerah di Indonesia, maka kelestarian budaya, inovasi dan kreativitas budaya, kerukunan antarbudaya, lapangan pekerjaan, pemasukan terhadap pendapatan daerah dan devisa negara adalah sumbangan penting yang dapat diberikan oleh bidang pariwisata budaya untuk peradaban Indonesia yang lebih baik di masa mendatang.***

Tulisan ini terinspirasi setelah Penulis mengadakan tour ke Hurugada Red Sea Egypt dan obrolan santai bersama sahabat H. Husni Hidayat ( sang budayawan Kairo)

Menyapa Budaya Indonesia dari Bumi Kinanah

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya akan berbagai seni dan budaya, namun sayangnya bayak diantara kita tidak mengetahui apa itu budaya asli bangsa Indonesia, padahal dunia pun sudah mengakui bahwa seni dan budaya Indonesia itu sangat ber aneka ragam dan pasti sangat bagus dan menarik dan tidak sedikit para turis manca negara banyak yang belajar kesenian asli Indonesia

Di samping itu Indonesia adalah merupakan sebuah gugus pulau yang terhampar luar, dari Sabang hingga Merauke. Wilayah yang sangat luas ditambah adanya faktor laut dan gunung, yang cenderung mengurangi interaksi antar daerah tersebut, mengakibatkan lahirnya variasi budaya yang luar bisa, termaksud seni musik tradisional. Seni tradisi yang merupakan identitas, jati diri, media ekspresi dari masyarakat pendukungnya. Hampir seluruh wilayah memiliki seni musik tradisional yang khas. Keunikan tersebut bisa dilihat dari teknik permainannya, penyajiannya maupun bentuk/organologi instrumen musiknya.

Budaya Indonesia merupakan kebudayaan yang dapat di artikan sebagai kesatuan dari kebudayaan seluruh wilayah yang ada di Indonesia. Untuk Menumbuhkan rasa Cinta Indonesia dalam rangka Mengembalikan Jati Diri Bangsa Indonesia perlu di galakkan kembali karena sekarang ini Indonesia sedang mengalami nilai nilai pergeseran dari kebudayaan lokal yaitu kebudayaan asli Indonesia kepada mulainya kecintaan terhadap budaya asing. Perlunya Mengembalikan Jati Diri Bangsa ini dengan mencintai kebudayaan Indonesia nampaknya perlu di tanamkan kembali kepada setiap individu dari warga Indonesia.
Salah satu contoh adalah Batik;
Batik adalah budaya pakaian yang sudah digunakan banyak orang . Banyak macam-macam batik di berbagai daerah, dengan berbagai macam pola yang berbeda. Sekarang Batik sudah menjadi pakaian sehari-hari bagi kaum perempuan maupun pria. Disamping itu juga,Batik mulai diperkenalkan dan diakui (milik Indonesia) oleh negara luar.

Semenjak Batik di populerkan dengan pola yang bermacam-bermacam dan jenis batik yang mempunyai 2 kriteria yaitu Modern dan Tradisional. Banyak membuat masyarakat semakin cinta dengan batik dan hingga akhirnya,batik sebagai pekaian sehari-hari dan memberikan kesan yang berbeda dari pemakaian batik tersebut.Batik bisa berarti mencerminkan keragaman budaya kita yang bercorak dan bercampur ras/suku , maka dari itu Batik bisa dikatakan "Cerminan Bangsa Indonesia"

Namun celakanya kita sebagai warga negaranya malah banyak yang enggan mempelajari seni dan budaya kita sendiri seperti contohnya kita lebih senang mengunakan gaun dan jas dibandingkan harus menggunakan kain songket dan kebaya, lita lebih mengenal valentin day dibandingkan nadranan, kota lebik suka menonton flim aksi dengan aktor luar dibandingkan menonton wayang, kila lebih banyak datang ke konser musik, dibandingkan harus menyaksikan sendra tari

Akankah kebudayaan kita musnah di dalam bangsa sendiri ???????

Harus Belajar dari Gus Dur

Harus Belajar dari Gus Dur

MENDIANG Abdurrahman Wahid banyak memberikan contoh bagaimana menjaga relasi yang baik dengan sejumlah lawan politik yang pernah dihadapi. Konfrontasi dengan sejumlah tokoh sering terlihat pada sejarah perjalanan hidup Gus Dur--sapaan akrab presiden keempat Indonesia itu.

Gus Dur menjadi presiden pasca-Reformasi. Naiknya Gus Dur menjadi presiden didukung penuh Amien Rais yang pada 1999 dianggap sebagai lokomotif poros tengah. Gus Dur mengalahkan Megawati yang akhirnya menjadi wakil presidennya. Perjalanan Gus Dur menjadi presiden tercatat tidak mulus.

Pada tahun kedua, MPR yang dikomando Amien Rais sebagai ketuanya melengserkan Gus Dur dari kursi presiden dengan jalan sidang istimewa DPR. Amien bersama Akbar Tandjung yang saat itu menjadi ketua DPR adalah dua tokoh yang berperan besar menggulingkan Gus Dur. Akibat impeachment tersebut Megawati akhirnya menduduki kursi presiden menggusur Gus Dur.

Susilo Bambang Yudhoyono yang kala itu menjadi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan tidak bisa menjalankan perintah Gus Dur yang mengeluarkan dekrit presiden. Secara logika sederhana, Amien, Megawati, Akbar dan SBY bisa dengan mudah disebutkan sebagai "lawan politik" Gus Dur. Karena dengan posisi mereka kala itu memberikan sumbangan yang besar bagi kejatuhan Gus Dur.

Namun rupanya bagi Gus Dur tidak ada dendam yang berlaku dan layak untuk dilanggengkan. Ketegangan bisa tercairkan jika untuk masalah-masalah bangsa. Semua orang yang sebelumnya menjadi lawan politik Gus Dur cukuplah terjadi pada peristiwa tertentu, namun pada kesempatan dan permasalahan lain mereka bisa menjadi sahabat. Sementara itu untuk masalah pribadi tidak ada musuh menurut Gus Dur.

Dengan Amien yang seharusnya menjadi musuh terbesarnya, Gus Dur setelah lengser malah terlihat mesra dalam sejumlah forum. Walaupun sering berseberangan pendapat Gus Dur dalam perjalanan hidupnya pasca pelengseran tetap tidak memendam dendam pribadi. Dalam sejumlah forum dua tokoh yang pernah menjabat pimpinan tertinggi dua ormas Islam terbesar di Indonesia ini tetap saling melempar sapa dan senyum.

Begitu juga dengan Akbar pun Gus Dur tidak pernah memendam dendam walaupun Akbar adalah aktor yang berupaya melengserkannya. Karena itu, Akbar pun sangat hormat kepada mantan Ketua PBNU tersebut. Pada acara peluncuran situs www.bangakbar.com di Jakarta pada 2008, Gus Dur juga turut memberikan sambutan hangat.

Walaupun dengan keterbatasan yang ada, Gus Dur tetap hadir dan mengapresiasi situs pribadi politikus Golkar tersebut. Sebagai seorang negarawan, Gus Dur selalu memperhatikan bangsanya. Jika tidak ada yang berkenan dia akan nyaring menyuarakan kritikan. Termasuk kritikan pada pemerintahan SBY. Salah satu kebijakan yang dikritiknya adalah kebijakan pencabutan subsidi BBM yang akan menyebabkan naiknya harga BBM.

Pada Agustus 2005, Gus Dur menjadi salah satu pemimpin koalisi politik yang bernama Koalisi Nusantara Bangkit Bersatu bersama dengan Try Sutrisno, Wiranto, Akbar Tanjung, dan Megawati. Koalisi ini melakukan kritik. Terbukti Gus Dur tidak memperlihatkan permusuhan kepada Akbar Tandjung atau Megawati yang sebenarnya pernah berperan besar menjatuhkannya.

Baginya jika ada ide yang bisa diusung bersama, maka ide itulah yang menyatukan mereka sehingga Gus Dur tidak membedakan dan melupakan "dosa" yang pernah dilakukan Akbar dan Megawati tersebut. Walaupun Gus Dur sering mengkritik SBY dengan keras, bukan berarti secara personal Gus Dur pernah membenci SBY. Hal ini dicontohkan Gus Dur yang menjadi mantan presiden yang sering menghadiri upacara 17 Agustus di Istana Merdeka.

Bahkan Gus Dur dan istrinya Sinta Nuriyah yang sama-sama menggunakan kursi roda datang pada acara open house yang diadakan SBY pada saat Lebaran. Langkah keakraban Gus Dur ini juga dibalas SBY, salah satunya adalah dengan menjadi saksi nikah putri Gus Dur Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid. Dengan Megawati pun yang menurut sejumlah orang "menusuk" dari belakang pada saat pelengseran, Gus Dur tetap memperlihatkan tidak ada permasalahan yang dihadapi.

Sikap kenegarawanan Gus Dur ini tentu akan sulit dilakukan orang lain jika masih memikirkan ego pribadi tanpa memikirkan kepentingan yang lebih luas. Memberikan maaf ataupun apresiasi bagi orang biasa akan sulit dilakukan kepada orang lain yang pernah menjadi musuh. Namun hal ini tidak berlaku bagi Gus Dur. (abdul malik/islahuddin)

Sumber tulisan: Koran Seputar Indonesia Sabtu, 5/6/2010 (baca)

PRESIDEN ABDURRAHMAN WAHID (GUSDUR)

KH Abdurrahman Wahid, akrab dipanggil Gus Dur (lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940; umur 68 tahun; terlahir dengan nama Abdurrahman Addakhil) adalah tokoh Muslim Indonesia dan pemimpin politik yang menjadi Presiden Indonesia yang keempat dari tahun 1999 hingga 2001. Ia adalah ketua Nahdlatul Ulama dan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Wahid menggantikan Presiden B. J. Habibie setelah dipilih oleh MPR hasil Pemilu 1999. Masa kepresidenan yang dimulai pada 20 Oktober 1999 berakhir pada Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Tepat 23 Juli 2001, kepemimpinannya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri setelah mandatnya dicabut oleh MPR. Abdurrahman Wahid menyelenggarakan pemerintahan dengan dibantu oleh Kabinet Persatuan Nasional.

Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam tahun 1940 di Denanyar Jombang, Jawa Timur dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Terdapat kepercayaan bahwa ia lahir tanggal 4 Agustus, namun kalender yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah kalender Islam yang berarti ia lahir pada 4 Sya’ban, sama dengan 7 September 1940.

Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. “Addakhil” berarti “Sang Penakluk”.[1] Kata “Addakhil” tidak cukup dikenal dan diganti nama “Wahid”, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. “Gus” adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati “abang” atau “mas”.[1]

Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Wahid lahir dalam keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, Bisri Syansuri, adalah pengajar Muslim pertama yang mengajarkan kelas pada wanita. Ayah Gus Dur, Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang.

Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia memiliki darah Tionghoa. Abdurrahman Wahid mengaku bahwa ia adalah keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V. Tan Kim Han sendiri kemudian berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis, Louis-Charles Damais diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang diketemukan makamnya di Trowulan.

Pada tahun 1963, Wahid menerima beasiswa dari Kementrin Agama untuk belajar di Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir. Ia pergi ke Mesir pada November 1963. Meskipun ia mahir berbahasa Arab, Gus Dur diberitahu oleh Universitas bahwa ia harus mengambil kelas remedial sebelum belajar Islam dan bahasa Arab. Karena tidak mampu memberikan bukti bahwa ia memiliki kemampuan bahasa Arab, Wahid terpaksa mengambil kelas remedial.

Abdurrahman Wahid menikmati hidup di Mesir pada tahun 1964; menonton film Eropa dan Amerika, dan juga menonton sepak bola. Wahid juga terlibat dengan Asosiasi Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis majalah asosiasi tersebut. Pada akhir tahun, ia berhasil lulus kelas remedial Arabnya. Ketika ia memulai belajarnya dalam Islam dan bahasa Arab tahun 1965, Gus Dur kecewa. Ia telah mempelajari banyak materi yang diberikan dan menolak metode belajar yang digunakan Universitas.

Di Mesir, Wahid dipekerjakan di Kedutaan Besar Indonesia. Pada saat ia bekerja, peristiwa Gerakan 30 September terjadi. Mayor Jendral Suharto menangani situasi di Jakarta dan upaya pemberantasan Komunis dilakukan. Sebagai bagian dari upaya tersebut, Kedutaan Besar Indonesia di Mesir diperintahkan untuk melakukan investigasi terhadap pelajar universitas dan memberikan laporan kedudukan politik mereka. Perintah ini diberikan pada Wahid, yang ditugaskan menulis laporan.

Wahid mengalami kegagalan di Mesir. Ia tidak setuju akan metode pendidikan serta pekerjaannya setelah G 30 S sangat mengganggu dirinya. Pada tahun 1966, ia diberitahu bahwa ia harus mengulang belajar. Pendidikan prasarjana Gus Dur diselamatkan melalui beasiswa di Universitas Baghdad. Wahid pindah ke Irak dan menikmati lingkungan barunya. Meskipun ia lalai pada awalnya, Wahid dengan cepat belajar. Wahid juga meneruskan keterlibatannya dalam Asosiasi Pelajar Indonesia dan juga menulis majalah asosiasi tersebut.

Gus Dur kembali ke Jakarta mengharapkan bahwa ia akan pergi ke luar negeri lagi untuk belajar di Universitas McGill di Kanada. Ia membuat dirinya sibuk dengan bergabung ke Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), organisasi yg terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat. LP3ES mendirikan majalah yang disebut Prisma dan Wahid menjadi salah satu kontributor utama majalah tersebut. Selain bekerja sebagai kontributor LP3ES, Wahid juga berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Pada saat itu, pesantren berusaha keras mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan cara mengadopsi kurikulum pemerintah. Wahid merasa prihatin dengan kondisi itu karena nilai-nilai tradisional pesantren semakin luntur akibat perubahan ini. Gus Dur juga prihatin dengan kemiskinan pesantren yang ia lihat. Pada waktu yang sama ketika mereka membujuk pesantren mengadopsi kurikulum pemerintah, pemerintah juga membujuk pesantren sebagai agen perubahan dan membantu pemerintah dalam perkembangan ekonomi Indonesia. Wahid memilih batal belajar luar negeri dan lebih memilih mengembangkan pesantren.

Abdurrahman Wahid meneruskan karirnya sebagai jurnalis, menulis untuk majalah Tempo dan koran Kompas. Artikelnya diterima dengan baik dan ia mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar, membuat dia harus pulang-pergi antara Jakarta dan Jombang, tempat Wahid tinggal bersama keluarganya.

Latar belakang keluarga Wahid segera berarti. Ia akan diminta untuk memainkan peran aktif dalam menjalankan NU. Permintaan ini berlawanan dengan aspirasi Gus Dur dalam menjadi intelektual publik dan ia dua kali menolak tawaran bergabung dengan Dewan Penasehat Agama NU. Namun, Wahid akhirnya bergabung dengan Dewan tersebut setelah kakeknya, Bisri Syansuri, memberinya tawaran ketiga. Karena mengambil pekerjaan ini, Wahid juga memilih untuk pindah dari Jombang ke Jakarta dan menetap disana. Sebagai anggota Dewan Penasehat Agama, Wahid memimpin dirinya sebagai reforman NU.

Pada saat itu, banyak orang yang memandang NU sebagai organisasi dalam keadaan stagnasi/terhenti. Setelah berdiskusi, Dewan Penasehat Agama akhirnya membentuk Tim Tujuh (yang termasuk Wahid) untuk mengerjakan isu reformasi dan membantu menghidupkan kembali NU. Reformasi dalam organisasi termasuk perubahan keketuaan. Pada 2 Mei 1982, pejabat-pejabat tinggi NU bertemu dengan Ketua NU Idham Chalid dan meminta agar ia mengundurkan diri. Idham, yang telah memandu NU pada era transisi kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto awalnya melawan, tetapi akhirnya mundur karena tekanan. Pada 6 Mei 1982, Wahid mendengar pilihan Idham untuk mundur dan menemuinya, lalu ia berkata bahwa permintaan mundur tidak konstitusionil. Dengan himbauan Wahid, Idham membatalkan kemundurannya dan Wahid bersama dengan Tim Tujuh dapat menegosiasikan persetujuan antara Idham dan orang yang meminta kemundurannya.

Kepresidenan Gus Dur terkenal akan perjalanan jarak jauhnya, termasuk ke tempat-tempat kontroversial. Pada November 1999, Wahid mengunjungi negara-negara anggota ASEAN, Jepang, Amerika Serikat, Qatar, Kuwait, dan Yordania. Setelah itu, pada bulan Desember, ia mengunjungi Republik Rakyat Cina.

Pada Januari 2000, Gus Dur melakukan perjalanan keluar negeri lainnya ke Swiss untuk menghadiri Forum Ekonomi Dunia dan mengunjungi Arab Saudi dalam perjalanan pulang menuju Indonesia. Pada Februari, Wahid melakukan perjalanan luar negeri ke Eropa lainnya dengan mengunjungi Inggris, Perancis, Belanda, Jerman, dan Italia. Dalam perjalanan pulang dari Eropa, Gus Dur juga mengunjungi India, Korea Selatan, Thailand, dan Brunei Darussalam. Pada bulan Maret, Gus Dur mengunjungi Timor Leste. Di bulan April, Wahid mengunjungi Afrika Selatan dalam perjalanan menuju Kuba untuk menghadiri pertemuan G-77, sebelum kembali melewati Kota Meksiko dan Hong Kong. Pada bulan Juni, Wahid sekali lagi mengunjungi Amerika, Jepang, dan Perancis dengan Iran, Pakistan, dan Mesir sebagai tambahan baru ke dalam daftar negara-negara yang dikunjunginya.

Wahid menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat orang anak: Alissa Qotrunnada, Zannuba Ariffah Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari. Wahid ditahbiskan sebagai “Bapak Tionghoa” oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, yang selama ini dikenal sebagai kawasan Pecinan pada tanggal 10 Maret 2004.

Pada 11 Agustus 2006, Gadis Arivia dan Gus Dur mendapatkan Tasrif Award-AJI sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006. Penghargaan ini diberikan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Gus Dur dan Gadis dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam memperjuangkan kebebasan berekpresi, persamaan hak, semangat keberagaman, dan demokrasi di Indonesia. Gus Dur dan Gadis dipilih oleh dewan juri yang terdiri dari budayawan Butet Kertaradjasa, pemimpin redaksi The Jakarta Post Endy Bayuni, dan Ketua Komisi Nasional Perempuan Chandra Kirana. Mereka berhasil menyisihkan 23 kandidat lain. Penghargaan Tasrif Award bagi Gus Dur menuai protes dari para wartawan yang hadir dalam acara jumpa pers itu. Seorang wartawan mengatakan bahwa hanya karena upaya Gus Dur menentang RUU Anti Pornoaksi dan Pornografi, ia menerima penghargaan tersebut. Sementara wartawan lain seperti Ati Nurbaiti, mantan Ketua Umum AJI Indonesia dan wartawan The Jakarta Post membantah dan menanyakan hubungan perjuangan Wahid menentang RUU APP dengan kebebasan pers.

Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Abdurrahman_Wahid