Kamis, 26 Juli 2012

Berkilau Tak Selamanya Permata (2)


Berkilau Tak Selamanya Permata (2)

BY AZIZNAWADI
Siapapun tidak dapat menyangkal mayoritas umat Islam yang notabenenya taat beragama di Tanah Air tidak respek sedikitpun dengan program Baratisasi. Semua yang berasal dari Barat sudah dicap sangat negatif dan pasti memunahkan keimanan. Meski tidak 100 persen benar, penulis masih memaklumi dan mau-mau saja meng-iya-kan persepsi tersebut. Akan tetapi yang lebih riskan bagi penulis bukanlah Baratisasi, melainkan Arabisasi yang acapkali disinonimkan dengan Islamisasi. Apabila Islam telah dilegitimisir sebagai agama yang berkewarganegaraan Arab, otomatis seluruh orang Arab telah sempurna keislamannya, bukan?.
Silahkan tolak Baratisasi melalui bermacam alasan selagi diterima akal sehat dan hati nurani, selagi untuk maslahat jati diri bangsa, dan demi melindungi perangai generasi muda. Tapi haruskah kemudian Arabisasi di-support karena dipandang akrab dengan Islam?. Inilah yang juga harus ditolak mentah-mentah agar tidak justru memfitnah Islam itu sendiri!.
Mungkin, contoh paling konkritnya adalah soal pakaian. Setiap tokoh atau pemuka Islam di Indonesia dan juga di banyak negara asing lainnya (yang bukan Arab) nyaris diidentikkan berjubah dan bersorban, konon karena Rasulullah Saw. selaku panutan teragung umat Islam memakainya dan tidak pernah memakai yang lain. Alasan seperti itu terlalu keruh dan dangkal. Mengapa demikian?.
Jikalau benar Rasulullah Saw. adalah panutan teragung umat Islam yang harus ditiru -secara lebih- oleh para da’i dan ulama khususnya, maka bukankah beliau memakai pakaian tersebut semata-mata karena mengikut tradisi setempat?. Semestinya pulalah para ulama memakai pakaian setempat jika memang benar meniru beliau. Kostum beliau tidak berbeda dengan kostum para sahabat, bahkan kostum Abu Lahab pun sama. Beliau tidak suka tampil beda dalam berpakaian karena tidak ingin memberatkan yang lain, sebagaimana pernyataan Mufti Mesir, Syaikh Ali Jum’ah dalam kitabnya al-Mutasyaddidun. Maka sudah seharusnya kostum para ulama di Indonesia pun tidak berbeda -apalagi berbeda jauh- dengan kostum masyarakat setempat, baik muslim maupun non-muslimnya!.
Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, Nasa’i, dan Syaukani dinyatakan, “Barangsiapa berpakaian untuk mendapat popularitas, maka di akhirat nanti ia akan memakai pakaian kehinaan“. Kostum popularitas di sini oleh ulama ditafsirkan sebagai kostum pemikat perhatian yang tak diperlukan; agar dikatakan hebat, alim, shalih, dan sebagainya.
Imam Ahmad bin Hanbal Ra. saja sebagai penggagas mazhab fikih terakhir dalam Islam, pernah menjumpai seseorang memakai jubah yang kebetulan bukan merupakan kostum bangsanya. Imam Ahmad dengan tegas menegurnya: “Lepaskan jubah ini dan pakailah pakaian bangsamu. Kalau saja kamu sekarang di Makkah atau Madinah, saya tidak akan menegurmu seperti ini”. Lihat Kitab Ghidza’ul Albab karya Syaikh Muhammad as-Safarini.
Dalam kitab yang sama, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani Ra. sebagai pendiri salah satu tarekat sufi induk dalam Islam, pun turut memperingati: “Di antara pakaian yang tidak baik adalah pakaian yang mengundang perhatian, seperti pakaian yang tidak mengikut tradisi setempat. Maka sebaiknya kamu memakai apa yang mereka pakai, agar tidak menjadi buah bibir mereka, yang kemudian memancing ghibah di antara mereka”.
Syaikh Ali Jum’ah dalam kitab al-Mutasyaddidun-nya menyimpulkan, bukanlah sunnah bila seseorang memakai jubah dengan alasan meniru Rasul. Justru yang sunnah adalah memakai pakaian setempat selagi tidak melanggar tatanan syariat dalam berpakaian (tidak membuka aurat, tidak transparan, dan tidak membentuk). Jubah sebagai pakaian Arab justru menjadi kostum popularitas yang dibenci Rasul bila dipakai di negeri asing!.
Mungkin saja ada yang mencoba berdalih, di Indonesia sudah menjadi tradisi bila seorang pemuka Islamnya berpenampilan beda dengan jubah, sorban, dan tongkat, jadi itu sudah bagian dari tradisi juga. Nah, justru tradisi seperti itulah yang wajib dikikis, karena sudah jelas tidak sehaluan dengan apa yang dicontohkan Rasulullah Saw. sebagai pemuka Islam yang sesungguhnya!.
Akibatnya, Islam diidentikkan dengan Arab, dan orang awam yang tak berdosa dengan mudah terpedaya oleh banyaknya ulama-ulama tak becus yang hanya mengandalkan kecakapan retorika dan penampilan yang berbeda. Dari sini penulis mengajak pembaca, mari dengan seperlahan-perlahannya kita sembuhkan kedangkalan berpikir kaum muslimin di Tanah Air tercinta, dan kita selamatkan umat jelata dari tipuan para pengaku ulama. Sebab, berkilau tak selamanya permata!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar