Minggu, 22 Juli 2012

Yahya C. Staquf dalam artikelnya “Gus Durku, Bung Karnoku…” “


Orang-orang mengecam kegemarannya berkeliling dunia, mengunjungi negara-negara yang dalam pandangan umum di­anggap kurang relevan dengan kepentingan Indonesia. Namun, aku justru melihat, daftar negara-negara yang beliau kunjungi itu identik dengan daftar undangan Konferensi Asia-Afrika.
Brasil mengekspor sekian ratus ribu ton kedelai ke Amerika setiap tahun, sedangkan kita meng­impor lebih dari separo jumlah itu, dari Amerika pula. Karena itu, presidenku datang ke Rio De Janeiro ingin membeli langsung kedelai dari sumbernya tanpa makelar Amerika. Venezuela mengipor seratus persen belanja rempah-rempahnya dari Rotterdam, sedangkan kita mengekspor seratus persen rempah-rempah kita ke sana. Maka, presidenku menawari Hugo Chavez membeli rempah-rempah langsung dari kita.
Gus Dur mengusulkan kepada Sultan Hassanal Bolkiah untuk membangun Islamic Financial Center di Brunei Darussalam. Lalu, melobi negara-negara Timur Tengah untuk mengalihkan duit mereka dari bank-bank di Singapura ke sana…”
Sangat cerdas….
Dari sini, saya yakin jika Gus Dur tidak diberhentikan tengah jalan, niscaya keyakinan Morgan Stanley untuk memasukkan Indonesia ke dalam kelompok BRIC (Brazil, Russia, India and China) sebagai kekuatan ekonomi yang dominan nanti di tahun 2050 (istilah BRIC sendiri diperkenalkan oleh Goldman Sachs) akan benar-benar kita lihat dampaknya saat ini dan tidak menjadi perdebatan.
Memang ada yang bilang, bahwa karena Gus Dur bukanlah politikus yang menyebabkan Gus Dur akhirnya jatuh. Tapi jika kita membaca ulang ulasan Ulil Abshar Abdalla mengenai politik Gus Dur, maka kita akan bisa melihat bahwa Gus Dur lah yang mengerti esensi bagaimana kiai harus berpolitik. Tugas kiai yang ada pada level ide dan roh masyarakat tidak bisa diajak berpolitik dalam pengertian “marksistis” atau “kiri”, yakni menjadi semacam Che Guevara atau apalagi Hugo Chaves. Bukan di sana tugas kiai. Ketika pada tahun 80-an ide-ide pendidikan “kiri-revolusioner” Paulo Freire dikenalkan di Indonesia oleh para aktivis Muslim dan sejumlah romo-romo Jesuit, Gus Dur menulis catatan penting: dia setuju dengan beberapa ide Freire, tetapi dia keberatan pada satu hal, yaitu kecenderungan “revolusioner” dalam pikiran-pikiran Freire. Maksudnya tentu “revolusi” dalam pengertian Marxian. Hanya orang yang paham “jiwa” kiai seperti Gus Dur yang bisa mengatakan hal seperti ini. Demikian kata Ulil.
Retorika Gus Dur sendiri, menurut Goenawan Mohamad: “adalah bagian dari perubahan suasana politik yang lahir bersama jutaan percikan demokrasi. Ia membebaskan, karena ada l’esprit dan kejenakaan di dalamnya. Tetapi humor terbagus dalam sistem politik mana pun akan datang dari bawah. Lelucon yang paling tak lucu adalah yang menertawakan mereka yang tak punya, cacat, dan lemah.”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar