Minggu, 22 Juli 2012

Islam dan Kekerasan 2.


Negara Islam (NI).
Islam mengajarkan hidup tanpa kekerasan. Satu- satunya jalan untuk menggunakan kekerasan, adalah jika kaum Muslimin diusir dari tempat tinggal mereka (idza ukhrihu min diyarikum). Itupun masih di perdebatkan bolehkah kaum Muslimin membunuh orang lain, jika jiwanya sendiri tidak terancam? Demikinlah Islam berjalan berabad-abad lamnya tanpa kekerasan, termasuk penyebaran agama tersebut di negeri ini. Alangkah jauh bedanya dengan sikap sementara fundamentalis/teroris Muslim di mana-mana dewasa ini. Terjadi pergolakan berdarah, mereka yang “berhaluan keras” di kalangan berbagai gerakan Islam di sini, berlalu lalang kian kemari membawa pedang, celurit, bom, granat serta senapan rakitan. Perbuatan itu jelas mlanggar undang-undang, tetapi tanpa ada tindakan apapun dari pemerintah.
Bahkan beberapa dari mereka melakukan gerakan pembersihan (sweeping) dan memberhentikan kendaraan untuk diperiksa sesuka hati. Pernah juga terjadi, di lakukan sweeping atas cofee house di kemang, Jakarta, demi untuk menegakkan syari’at Islamiyah di negeri ini. Anehnya botol-botol sandy di pecahkan berserkan di lantai, karena berharga murah, sebaliknya waisky dan vodka yang berharga mahal dibawa pulang dalam keadaan utuh, mungkin untuk dijual lagi. Sikap mendua yang meterialistik ini memperkuat dugaan bahwa di antara para fundamentalisme itu ada orang-orang bayaran dari luar. Masalahnya, mengapkah para pemimpin berbagai gerakan tersebut tidak dapat mengendalikan anak buah mereka ?
Lalu mengapakah kaum fundamentalis itu, yang umumny terdiri dari orang-orang muda yang terampil yang cakap secara teknis, namun tidak pernah jelas diri mereka secra psikologis? Jawabanny sederhana saja. Pertama karena mereka melihat kaum Muslimin tertinggal jauh di belakang dari orang lain. Nah, ketertinggalan itu mereka kejar secara fisik, yaitu menggunakan kekerasan untuk menghalangi kemajuan materialistik duniawi itu. Aspek kedua dari munculnya gerakan-gerakan fundamentalistik ini adalah proses pendangkalan agama yang menghinggapi kaum muda Muslim sendiri. Mereka kebyakan mencari jalan pintas dengan kembali pada sumber-sumber tekstual Islam seperti Qura’an dan Hadits, tanpa mempelajari berbagai penafsiran dan pendapat-pendapat hukum yang sudah berjalan berabad-abad lamanya. Akibat dari keterbatasan mereka  tentang Islam maka inilah yang membuat mereka jadi fundamentalis. Tindak kekerasan yang sudah biasa mewarnai langkah-langkah mereka, dianggap oleh masyarakat dunia sebagai ciri khas gerakan Islam.
            Terorisme memang merajalela di negeri kita. Tiga bom yang meledak dalam waktu yang hampir bersamaan di Denpasar, Bali 12 Oktober 2002. Lebih dari 200 jiwa orang menjadi korban. Belum lagi ledakan bom Hotel Ritz Carlton dan JW Marriott, Mega Kuningan, jakarta. Disusul baru-baru ini dengan paket bom buku menebar teror pada sejumlah target. Ulil Abshar Abdalla, Gories Mere, dan Japto Soerjosoemarno jadi sasaran. Kemudian kejadian serupa terjadi di Masjid Adz-Dzikro di lingkungan Markas Polres Kota Cirebon. Tidak heranlah jika negara-negara lain lalu menganggap kita tidak memiliki  kesanggupan untuk menjaga keamanan dan meneliti pelanggaran-pelanggaran atasnya. Tawaran yang oleh Kapolri dinyatakan datang dari berbagai negara, pada hakikatnya adalah kritikan terhadap kemampuan kita di bidang keamanan dalam negeri. Jadi tidak teptlah kebanggaan sementara kalangan akan datangnya tawaran memebantu tersebut. Ini adalah akibat belaka dari kelalaian kita di masa-masa lampau.
            Secara internasional, ketidaksiapan pemerintah atas kejadian itu dilontarkan oleh berbagai pihak atau negara. Ini juga berakibat parah terhadap ekonomi kita yang sedang dilanda krisis. Bagaikan orang yang jatuh tertimpa tangga pula. Bukan hanya turunnya jumlah wisatawan asing yang ke Bali melainkan juga jumlah ekspor negara lain terkena pukulan hebat. Demikian juga, usaha di bidang pariwisata kita mengalami pukulan berat. Jumlah penganggur semakin membengkak dan tak terbatas pada daerah Bali saja. Gubernur Jawa Timur menyatakan ekspor daerah itu melalui Bali yang telah lalu mencapai 1 milyar rupiah. Para wisatawan asing itu banyak juga yang kemudian berselancar di selatan banyuwangi dan menyaksikan matahari terbit di puncak Gunung Bromo. Kalau mereka tidak datang ke Bali, maka mereka tidak datang ke Jatim.
            Secara ringkas bisa dikemukakan bahwa agenda utama kelompok-kelompok garis keras adalah untuk meraih kekuasaan politik melalui formalisasi agama. Mereka mengklaim, jika Isalam menjadi dasar negara, jika syaria’at di tegakkan sebagai hukum positif, jika Khilafah Islamiyah diterapkan, maka semua masalah akan selesai. Semua ini  adalah utopia. Jika saja mereka memahami respon Sayidina Ali ra. kepada Khawarij menjelang Tahkim, maka akan jelas sebaik apapun ajaran dan pesan agama sebagaimana termaktub dalam kitab suci, semua teragantung pada pembaca dan pada penganutnya, tentu mereka tidak akan memanfaatkan untuk meraih kekuasaan politik. Gerakan-gerakan garis keras (terutama Wahabi) sebenarnya adalah reinkarnasi Khawarij. Karena itu, mustahil neo-Khawarij bersibuk memahami respon Sayidina Ali tetapi gigih mengkafirkan lain yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan mereka dan memperjuangkan formalisasi agama untuk mencapai tujuan politiknya.
            Memang, tentu ada relasi antara berbagai permasalahan sosial dengan pengabdian terhadap ajaran agama. Seperti korupsi, kolusi, nepotisme, kemiskinan, kebodaohan dan semcamnya. Tapi solusinya bukanlah pada formalisasi agama, melainkan pada perbaikan akhlak individu-individu sebagai penganut agama. Solusi formalisasi agama lebih sebagai dalih untuk mencapai sebuah tujuan politik daripada untuk memperbaki permasalahan sosial. Karena permasalahan sebenarnya bukanlah pada agama yang tidak diformalkan tetapi pada para penganut agama yang mengabaikan pesan-pesan luhur agama. Mereka selalu mengejar simbol-simbol, bukan mengamalkan substansi ajaran agama.
            Beberapa contoh gairah memperjuangkan simbol ini bisa dikemukakan baik yang bersifat personal maupun publik. Sebuah riwayat menuturkan bahwa Tuhan akan mencintai hamba-hambaNya mempunyai tanda hitam di dahinya. Berdasarkan riwayat ini, aktivis kelompok garis keras yang berusaha membuat dahinya hitam, padahal yang dimaksud adalah bayak bersujud, beribadah beserah diri kepada Allah swt.., berusaha mencintaiNya dengan sepenuh hati sehingga dia juga akan mencintai makhlukNya. Mereka berfikir bahwa tanda hitam adalah sebagai bukti ditunjukkan kepada Tuhan kelak di akherat. Padahal Allah swt.melihat hati dan perbuatan bukan simbol-simbol. Demikian pula dengan jenggot dan pakaian. Dugaan terbaik, hal ini disebabkan tidak adanya kemampuan mereka untuk membedakan antara substansi ajaran dari simbol-simbol keagamaan dan budaya.
            Inilah yang harus dipikirkan sebagai kenyataan yang ada, kalaupun toh  NI dipaksakan- sekali lagi untuk mewujudkan gagasan NI itu di negara kita, maka yang akan terjadi haynyalah serangkain pemberontakan bersenjata seperti yang terjadi di negara kita tahun-tahun 50-an. Apakah deretan pemberontakan bersenjata seperti itu, yang ingin kita saksikan kembali dalam sejarah modern bangsa kita…


Tidak ada komentar:

Posting Komentar