Kamis, 26 Juli 2012

FPI Tidak Membela Islam


FPI Tidak Membela Islam

BY AZIZNAWADI
There was no tradition of religious persecution in the Islamic empire
Tidak ada tradisi persekusi dalam sejarah Islam. (Karen Armstrong)
Baginda Rasul tidak pernah mengutus Saidina Mua’dz bin Jabal ke Yaman sebagai seorang persekutor, akan tetapi sebagai penebar kedamaian dan kesejahteraan. Sebagai pengenal tentang toleransi Islam dan tentang Rasul yang hanya terutus untuk mengasihi alam. Apabila kemungkaran telah merajalela, maka Islam pun tidak akan pernah kehilangan hikmahnya, ia agama yang penuh kebijaksanaan, ia mampu merubah kekejian dengan hati, lidah maupun lisan. Islam anti ekstrimisme, Islam tidak brutal, Islam tidak anarkis, Islam tidak teroris dan Islam tidak mengenal mereka yang bertakbir dengan suara keras sementara hati buta terhadap kebesaran Tuhan !!
Awalnya, penulis prihatin melihat realita yang menyesakkan nafas dunia, namun seiring dengan lahirnya pendekar-pendekar kesiangan, penulis justru menggelengkan kepala seraya mempertanyakan latar belakang kependekaran tersebut. Mengapa bumi yang kering dan haus akan kesegaran air langit malah dihujani darah-darah menyeramkan?! Bumi Tuhan yang mengemis kasih sayang malah disedekahi peluru dan bebatuan !! Bukan hanya musuh Islam yang kerisihan, umat Islam pun merasa ketakutan, bahkan seluruh jagad raya tak lagi menikmati kenyamanan.
Percaya atau tidak, FPI, IM, HT, NII dan yang sehaluan, sama-sama mengidamkan kalimat Allah menjadi yang tertinggi, dan kalimat orang-orang kafir menjadi yang terkubur. Akan tetapi bertahun-tahun lamanya kelompok-kelompok itu bertualang, tidak ada hasil yang semakin menjadi-jadi selain Islam menjadi agama yang tercemar. Islam tak lagi mengembara dengan hikmah serta mau’izah hasanahnya, akan tetapi Islam sudah ditenggelamkan dalam lautan darah yang dipenuhi ikan hiu, dan ikan-ikan hiu itu masih saja liar dan mengomandokan “Seek and Destroy” !! Semua makhluk yang kontra terhadap ikan-ikan hiu itu harus dibasmi dan dibunuh demi sebuah angan-angan hampa dan keotoriteran yang tak kenal batasnya. Hanya Allah yang Maha Tahu, semoga saja ini sekedar kesalahpahaman penulis tentang visi dan misi serta manhaj mereka.
Perbedaan persepsi tentang trik-trik mengubah kemungkaran sebagaimana yang dituntun Islam adalah sebab utama terjadinya goncangan tersebut. Namun meski perbedaan pola pikir itu sudah menjadi keniscayaan, maka perbedaan agama, aqidah dan kepercayaan pun lebih niscaya dan lumrah, sehingga tidaklah patut menerapkan pemaksaan kehendak di tengah-tengah masyarakat yang sedang memerlukan naungan. Terjadinya pengendoran aqidah pun janganlah dibalas dengan kekerasan, sebaiknya aqidah itulah yang dikukuhkan kembali dengan upaya yang lebih fairdan sportif. Akan lebih indah jika penyesatan itu musnah dengan sendirinya daripada diakhiri secara paksa, sebab pengakhiran secara paksa itu disamping berani menentang sunnah Tuhan, ia akan menghembuskan angin-angin permusuhan yang lebih sangar dan brutal dimasa mendatang.
Sebagaimana Rasulullah Saw. yang enggan menghancurkan patung-patung sesembahan jahiliyah, konsentrasi beliau saat itu hanyalah menanamkan tauhid dalam keyakinan para sahabat, sehingga patung-patung itu walau masih berdiri tegak mengelilingi ka’bah namun telah membangkai dengan sendirinya (tak ada satupun menyembahnya). Rasulullah Saw. tidak perlu membunuh para “penjahat”, beliau yakin bahwa membunuh “kejahatan”lah yang lebih tepat. Kita tidak perlu membunuh atau mengubur hidup-hidup “orang-orang kafir”, lebih indah bila “kekufuran” itulah yang disiksa mati-matian. Itulah rahasianya mengapa hati menjadi alat terkuat untuk mengubah kemungkaran dan bukan yang terlemah sebagaimana penafsiran banyak orang !!
Rasa cinta sesama muslim telah menjadi bagian yang amat signifikan dalam diri dan hati penulis. Tidak ada kata benci untuk siapapun yang berbeda dengan penulis. Dan memang tidak efektif apa yang penulis sampaikan dalam catatan ini. Hanya saja, pesan ikhlasku, marilah kita benahi kembali apa yang telah menjadi santapan sehari-hari, jikalau ada racun yang tersmbunyi, kita buang dengan senyum dan senang hati. Jikalau Roy salah, biarlah Muhammad yang memperbaiki, janganlah Roy disiksa sampai mati. Bila Roy ngeyel dan ngotot bela diri, pasrahlah kepada Ilahi Robbi, masih banyak yang perlu dan mau diobati. “Fa’in azamta fatawkkal alallah“. “Wama alaika illal-balagh“.
Jujur, penulis tidak kuat lagi melanjutkan catatan ini, perasaan ini sulit terungkap. Tanda tanya itupun sulit terjawab. Biarlah Sang Tuhan yang menjustifikasi.

Berkilau Tak Selamanya Permata (2)


Berkilau Tak Selamanya Permata (2)

BY AZIZNAWADI
Siapapun tidak dapat menyangkal mayoritas umat Islam yang notabenenya taat beragama di Tanah Air tidak respek sedikitpun dengan program Baratisasi. Semua yang berasal dari Barat sudah dicap sangat negatif dan pasti memunahkan keimanan. Meski tidak 100 persen benar, penulis masih memaklumi dan mau-mau saja meng-iya-kan persepsi tersebut. Akan tetapi yang lebih riskan bagi penulis bukanlah Baratisasi, melainkan Arabisasi yang acapkali disinonimkan dengan Islamisasi. Apabila Islam telah dilegitimisir sebagai agama yang berkewarganegaraan Arab, otomatis seluruh orang Arab telah sempurna keislamannya, bukan?.
Silahkan tolak Baratisasi melalui bermacam alasan selagi diterima akal sehat dan hati nurani, selagi untuk maslahat jati diri bangsa, dan demi melindungi perangai generasi muda. Tapi haruskah kemudian Arabisasi di-support karena dipandang akrab dengan Islam?. Inilah yang juga harus ditolak mentah-mentah agar tidak justru memfitnah Islam itu sendiri!.
Mungkin, contoh paling konkritnya adalah soal pakaian. Setiap tokoh atau pemuka Islam di Indonesia dan juga di banyak negara asing lainnya (yang bukan Arab) nyaris diidentikkan berjubah dan bersorban, konon karena Rasulullah Saw. selaku panutan teragung umat Islam memakainya dan tidak pernah memakai yang lain. Alasan seperti itu terlalu keruh dan dangkal. Mengapa demikian?.
Jikalau benar Rasulullah Saw. adalah panutan teragung umat Islam yang harus ditiru -secara lebih- oleh para da’i dan ulama khususnya, maka bukankah beliau memakai pakaian tersebut semata-mata karena mengikut tradisi setempat?. Semestinya pulalah para ulama memakai pakaian setempat jika memang benar meniru beliau. Kostum beliau tidak berbeda dengan kostum para sahabat, bahkan kostum Abu Lahab pun sama. Beliau tidak suka tampil beda dalam berpakaian karena tidak ingin memberatkan yang lain, sebagaimana pernyataan Mufti Mesir, Syaikh Ali Jum’ah dalam kitabnya al-Mutasyaddidun. Maka sudah seharusnya kostum para ulama di Indonesia pun tidak berbeda -apalagi berbeda jauh- dengan kostum masyarakat setempat, baik muslim maupun non-muslimnya!.
Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, Nasa’i, dan Syaukani dinyatakan, “Barangsiapa berpakaian untuk mendapat popularitas, maka di akhirat nanti ia akan memakai pakaian kehinaan“. Kostum popularitas di sini oleh ulama ditafsirkan sebagai kostum pemikat perhatian yang tak diperlukan; agar dikatakan hebat, alim, shalih, dan sebagainya.
Imam Ahmad bin Hanbal Ra. saja sebagai penggagas mazhab fikih terakhir dalam Islam, pernah menjumpai seseorang memakai jubah yang kebetulan bukan merupakan kostum bangsanya. Imam Ahmad dengan tegas menegurnya: “Lepaskan jubah ini dan pakailah pakaian bangsamu. Kalau saja kamu sekarang di Makkah atau Madinah, saya tidak akan menegurmu seperti ini”. Lihat Kitab Ghidza’ul Albab karya Syaikh Muhammad as-Safarini.
Dalam kitab yang sama, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani Ra. sebagai pendiri salah satu tarekat sufi induk dalam Islam, pun turut memperingati: “Di antara pakaian yang tidak baik adalah pakaian yang mengundang perhatian, seperti pakaian yang tidak mengikut tradisi setempat. Maka sebaiknya kamu memakai apa yang mereka pakai, agar tidak menjadi buah bibir mereka, yang kemudian memancing ghibah di antara mereka”.
Syaikh Ali Jum’ah dalam kitab al-Mutasyaddidun-nya menyimpulkan, bukanlah sunnah bila seseorang memakai jubah dengan alasan meniru Rasul. Justru yang sunnah adalah memakai pakaian setempat selagi tidak melanggar tatanan syariat dalam berpakaian (tidak membuka aurat, tidak transparan, dan tidak membentuk). Jubah sebagai pakaian Arab justru menjadi kostum popularitas yang dibenci Rasul bila dipakai di negeri asing!.
Mungkin saja ada yang mencoba berdalih, di Indonesia sudah menjadi tradisi bila seorang pemuka Islamnya berpenampilan beda dengan jubah, sorban, dan tongkat, jadi itu sudah bagian dari tradisi juga. Nah, justru tradisi seperti itulah yang wajib dikikis, karena sudah jelas tidak sehaluan dengan apa yang dicontohkan Rasulullah Saw. sebagai pemuka Islam yang sesungguhnya!.
Akibatnya, Islam diidentikkan dengan Arab, dan orang awam yang tak berdosa dengan mudah terpedaya oleh banyaknya ulama-ulama tak becus yang hanya mengandalkan kecakapan retorika dan penampilan yang berbeda. Dari sini penulis mengajak pembaca, mari dengan seperlahan-perlahannya kita sembuhkan kedangkalan berpikir kaum muslimin di Tanah Air tercinta, dan kita selamatkan umat jelata dari tipuan para pengaku ulama. Sebab, berkilau tak selamanya permata!

Berkilau Tak Selamanya Permata (1)



BY AZIZNAWADI
Begitu fenomenal di akhir zaman ini kemunculan da’i-da’i temporal yang sibuk berpetuah tanpa latar belakang yang memadai, dan semata-mata untuk menggapai harta dan popularitas. Tidak menguasai prinsip-prinsip agama, dan hanya mengandalkan bacaan sejumlah buku, sudah berani berftawa dan mengutip perkataan para imam tanpa referensi yang jelas. Sayangnya, banyak juga yang mau mendengarkan mereka!.
Jangan mengira mereka berhasil memikat banyak jamaah karena kehebatan yang mereka miliki. Mereka tidak mempunyai pijakan yang kokoh, bak burung yang hanya muncul tiba-tiba dan terbang setinggi-tingginya namun pada akhirnya terjatuh juga. Sudah banyak contoh para da’i yang bermunculan tiba-tiba dengan gaya-gaya memukau di minbar-minbar, stasiun-stasiun televisi, kaset-kaset, buletin-buletin, bahkan mall-mall, namun pada akhirnya menghilang begitu saja!.
Demikianlah prihatin guru besar hadits Universitas ‘Ain Syams Kairo, Prof. Dr. Muhammad Fu’ad Syakir yang konsentrasi magisternya di bidang tasawuf dan doktoralnya di bidang hadits. Setelah menguraikan keprihatinannya itu melalui majalah Tasawuf Islami Mesir edisi September 2009, ia kemudian menambahkan: “Maraknya kemunculan para da’i tak becus itu sebab paling mendasarnya ialah kelupaan umat terhadap instruksi Tuhan yang mengatakan “Bertanyalah kepada ahli dzikir jika kamu tidak mengetahui“”!.
Sependapat dengan Mufti Mesir, Dr. Ali Jum’ah ketika menyayangkan munculnya sejumlah da’i yang tidak berilmu sedikitpun dan hanya memiliki kecakapan beretorika saja. Para da’i semacam itu sama sekali tidak pantas dijadikan panutan, sebab perkara ceramah dan nasehat-menasehati, santri-santri pun banyak yang hebat. Tapi soal ilmu, hanya orang-orang pilihan saja yang dapat anugerahnya. Lihat kitab al-Mutasyaddidun karya Syaikh Ali Jum’ah, terbitan Darul Muqattam Kairo, cetakan I tahun 2011, hal. 150.
Dalam Shahih Bukhari, Saidina Ibnu Mas’ud telah mengingatkan terlebih dahulu: “Kalian sekarang hidup pada zaman dimana ahli fikihnya lebih banyak daripada ahli retorikanya. Namun akan datang suatu zaman nanti dimana ahli fikihnya sedikit dan ahli ngomong-nya sangat banyak”!. Dan kemudian terbukti oleh Ibnul Jauzi dalam kitab Talbis Iblisketika ia menyebutkan, para da’i terdahulu benar-benar memiliki ilmu yang menyelamatkan umat. Namun kini, ilmu sudah tidak penting lagi. Orang-orang lebih tertarik pada dongeng-dongeng dan lelucon-lelucon saja!.
Imam adz-Dzahabi dalam kitab Siyar A’lam an-Nubala’ juga turut mengingatkan: “Terdapat sekelompok orang yang disebut ulama, padahal mereka tidak punya ilmu apapun dan tidak dapat mengantar kepada Tuhan, sebab mereka tidak mengikuti seorang syaikh. Orang-orang semacam itu bagai lalat yang sibuk berdengung saja”!. Senada dikemukakan oleh tokoh IM asal Syria yaitu Syaikh Sa’id Hawwa bahwa, da’i tulen yang sanggup memberikan petunjuk (setelah Allah dan Rasul-Nya) adalah Wali Mursyid. Para wali mursyid itu merupakan pewaris-pewaris sempurna para nabi di bidang dakwah kepada Allah Swt. sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Kahf ayat 17: “Dan barangsiapa disesatkan Allah, maka kamu tidak akan menemukan baginya seorang wali mursyid“. Lihat kitab Tarbiyatuna ar-Ruhiyyah karya Syaikh Sa’id Hawwa, terbitan perpustakaan Wahbah Kairo, cetakan V tahun 2005, hal. 217.
Berangkat dari peringatan-peringatan berharga di atas, maka waspadailah da’i-da’i tak becus yang terus bermunculan di akhir zaman ini. Jangan mudah terhipnotis oleh rayuan semu mereka, atau ideologi anda menjadi dangkal alias “Mudzabdzabina baina dzalika la ila ha’ula’ wala ila ha’ula’. Waman ydhlilillahu falan tajida lahu sabila” (QS. an-Nisa’: 143)

Minggu, 22 Juli 2012

Menyapa Budaya Indonesia dari Bumi Kinanah 2 ( Pariwisata )

Pada suatu malam penulis naik bus ke Hurugada, dalam rangka Summer Tour Hurugada With Fosmagati. Kami serombongan berjumlah sekitar 54 orang dari berbagai kekeluwargaan. Bus pun berjalan sekitar jam 03.00 dini hari waktu Kairo. Dalam perjalanan dengan cermat penulis amati pemandangan yang ada hanya gurun pasir yang sangat luas terhampar. Pada hari kedua penulis melanjutkan perjalanan, sampailah pada sebuah pulau (Paradise) yang menjadi idaman setiap pelancong dari berbagai manca negara, oohh..ternyata itupun hamparan pasir yang sangat luas tanpa pepohonan satupun ya begitulah daerah Timur Tengah. Lain halnya dengan obyek wisata indonesia pepohonan yang rindang dan rerumputan menghiasi negri yang elok terhamar di seluruh negeri.

Indonesia adalah negara yang kaya raya dengan sumber daya alam dan sumber daya budaya yang melimpah. Bangsa kita merupakan bangsa yang serba multi, baik itu multi-insuler, multibudaya, multibahasa, maupun multiagama. Kesemuanya itu bila dikelola dengan baik dapat dijadikan sebagai potensi untuk memakmurkan rakyat dan memajukan bangsa kita.

Sayangnya, dalam wacana pariwisata budaya di tingkat nasional, yang seringkali dijadikan rujukan dan contoh adalah pariwisata di Bali. Seolah-olah hanya daerah Bali yang hanya bisa dimajukan pariwisata budayanya untuk menarik kunjungan baik wisatawan nusantara maupun mancanegara. Tidak salah memang bila kita membanggakan keberhasilan Bali sebagai daerah tujuan pariwisata dunia yang telah menghasilkan sumbangan devisa terhadap negara dalam jumlah besar. Namun bila kita terjebak hanya mengandalkan satu daerah Bali saja, maka kemajuan pariwisata Indonesia akan mengalami ketergantungan yang sangat tinggi terhadap daerah tersebut. Hal ini terbukti, ketika di Bali terjadi tragedi bom yang diledakkan oleh kaum teroris, maka penerimaan devisa negara kita di bidang pariwisata menjadi anjlok.

Kemajuan pariwisata budaya di Bali sangat ironis dengan kondisi pariwisata budaya di daerah-daerah Indonesia lainnya. Di Subang, Jawa Barat misalnya, sepuluh tahun yang lalu, anak-anak remajanya masih banyak yang berminat untuk belajar tari jaipong, sisingaan, dan menjadi dalang wayang golek. Hampir setiap minggu dan dalam acara ritual kehidupan selalu diundang pentas sebagai hiburan budaya yang meriah. Saat ini, ketika teknologi semakin maju, ironisnya kebudayaan-kebudayaan daerah tersebut semakin lenyap di masyarakat, bahkan hanya dapat disaksikan di televisi dan Taman Mini. Padahal kebudayaan-kebudayaan daerah tersebut, bila dikelola dengan baik selain dapat menjadi pariwisata budaya yang menghasilkan pendapatan untuk pemerintah baik pusat maupun daerah, juga dapat menjadi lahan pekerjaan yang menjanjikan bagi masyarakat sekitarnya.

Pariwisata Budaya

Ada banyak cara sebenarnya untuk memajukan pariwisata negara kita. Memang untuk memajukan pariwisata budaya bukan hanya tugas pemerintah tetapi juga masyarakat kita. Namun tentunya Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, serta Dinas Pariwisata di seluruh daerah di Indonesia, sebagai instansi pemerintah yang bertugas memajukan kebudayaan dan pariwisata Indonesia, memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Pertama, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata sesuai dengan fungsinya yang hanya sebagai perumus kebijakan, harus berani dan tegas menentukan konsep, visi, dan misi pariwisata budaya Indonesia. Keberanian untuk menyepakati konsep pariwisata dan budaya juga harus dilakukan karena dalam dunia akademik tidak akan pernah disepakati kedua konsep tersebut yang disebabkan oleh selalu adanya dialektika antara temuan dan pemikiran cendekiawan satu dengan yang lainnya.

Kedua, sesuai dengan semangat otonomi daerah yang menyerahkan tugas pengembangan kebudayaan dan pariwisata kepada Dinas Pariwisata di masing-masing daerah, maka Dinas Pariwisata harus benar-benar menangkap pelimpahan tugas dan wewenang itu sebagai peluang untuk memajukan masyarakat di daerahnya. Sebagai contoh, dengan kekayaan budaya yang kita miliki, maka di setiap kabupaten atau kota Dinas Pariwisata minimal dapat mendirikan satu pusat atau sentra pariwisata budaya yang menampilkan keanekaragaman budaya di wilayahnya masing-masing. Bentuk konkretnya adalah didirikannya semacam Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di masing-masing daerah bersangkutan.

Ketiga, para pengamat pariwisata dan budaya sudah saatnya untuk lebih mengutamakan kajian dan penelitian yang merekomendasikan bagaimana memajukan kebudayaan dan pariwisata Indonesia dibandingkan dengan kajian dan penelitian yang selalu memberikan kritik yang belum tentu konstruktif terhadap kebijakan pembangunan pariwisata dan budaya, yang seringkali justru menyebabkan ketakutan pada instansi pemerintah untuk mengambil kebijakan.

Keempat, peran serta masyarakat dalam pembangunan sentra-sentra budaya di masing-masing daerah harus diutamakan. Misalnya, kelompok-kelompok kebudayaan dan kesenian yang akan dipentaskan harus bergiliran dan tidak dimonopoli oleh kelompok kesenian tertentu saja. Di samping itu, anggota masyarakat sekitar juga harus diutamakan untuk direkrut mengelola sentra budaya bersangkutan dengan diberikan pendidikan dan pelatihan terlebih dahulu.

Bila pembangunan pariwisata budaya ini dapat segera dilakukan dengan terarah dan berkesinambungan di seluruh daerah di Indonesia, maka kelestarian budaya, inovasi dan kreativitas budaya, kerukunan antarbudaya, lapangan pekerjaan, pemasukan terhadap pendapatan daerah dan devisa negara adalah sumbangan penting yang dapat diberikan oleh bidang pariwisata budaya untuk peradaban Indonesia yang lebih baik di masa mendatang.***

Tulisan ini terinspirasi setelah Penulis mengadakan tour ke Hurugada Red Sea Egypt dan obrolan santai bersama sahabat H. Husni Hidayat ( sang budayawan Kairo)

Menyapa Budaya Indonesia dari Bumi Kinanah

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya akan berbagai seni dan budaya, namun sayangnya bayak diantara kita tidak mengetahui apa itu budaya asli bangsa Indonesia, padahal dunia pun sudah mengakui bahwa seni dan budaya Indonesia itu sangat ber aneka ragam dan pasti sangat bagus dan menarik dan tidak sedikit para turis manca negara banyak yang belajar kesenian asli Indonesia

Di samping itu Indonesia adalah merupakan sebuah gugus pulau yang terhampar luar, dari Sabang hingga Merauke. Wilayah yang sangat luas ditambah adanya faktor laut dan gunung, yang cenderung mengurangi interaksi antar daerah tersebut, mengakibatkan lahirnya variasi budaya yang luar bisa, termaksud seni musik tradisional. Seni tradisi yang merupakan identitas, jati diri, media ekspresi dari masyarakat pendukungnya. Hampir seluruh wilayah memiliki seni musik tradisional yang khas. Keunikan tersebut bisa dilihat dari teknik permainannya, penyajiannya maupun bentuk/organologi instrumen musiknya.

Budaya Indonesia merupakan kebudayaan yang dapat di artikan sebagai kesatuan dari kebudayaan seluruh wilayah yang ada di Indonesia. Untuk Menumbuhkan rasa Cinta Indonesia dalam rangka Mengembalikan Jati Diri Bangsa Indonesia perlu di galakkan kembali karena sekarang ini Indonesia sedang mengalami nilai nilai pergeseran dari kebudayaan lokal yaitu kebudayaan asli Indonesia kepada mulainya kecintaan terhadap budaya asing. Perlunya Mengembalikan Jati Diri Bangsa ini dengan mencintai kebudayaan Indonesia nampaknya perlu di tanamkan kembali kepada setiap individu dari warga Indonesia.
Salah satu contoh adalah Batik;
Batik adalah budaya pakaian yang sudah digunakan banyak orang . Banyak macam-macam batik di berbagai daerah, dengan berbagai macam pola yang berbeda. Sekarang Batik sudah menjadi pakaian sehari-hari bagi kaum perempuan maupun pria. Disamping itu juga,Batik mulai diperkenalkan dan diakui (milik Indonesia) oleh negara luar.

Semenjak Batik di populerkan dengan pola yang bermacam-bermacam dan jenis batik yang mempunyai 2 kriteria yaitu Modern dan Tradisional. Banyak membuat masyarakat semakin cinta dengan batik dan hingga akhirnya,batik sebagai pekaian sehari-hari dan memberikan kesan yang berbeda dari pemakaian batik tersebut.Batik bisa berarti mencerminkan keragaman budaya kita yang bercorak dan bercampur ras/suku , maka dari itu Batik bisa dikatakan "Cerminan Bangsa Indonesia"

Namun celakanya kita sebagai warga negaranya malah banyak yang enggan mempelajari seni dan budaya kita sendiri seperti contohnya kita lebih senang mengunakan gaun dan jas dibandingkan harus menggunakan kain songket dan kebaya, lita lebih mengenal valentin day dibandingkan nadranan, kota lebik suka menonton flim aksi dengan aktor luar dibandingkan menonton wayang, kila lebih banyak datang ke konser musik, dibandingkan harus menyaksikan sendra tari

Akankah kebudayaan kita musnah di dalam bangsa sendiri ???????

Harus Belajar dari Gus Dur

Harus Belajar dari Gus Dur

MENDIANG Abdurrahman Wahid banyak memberikan contoh bagaimana menjaga relasi yang baik dengan sejumlah lawan politik yang pernah dihadapi. Konfrontasi dengan sejumlah tokoh sering terlihat pada sejarah perjalanan hidup Gus Dur--sapaan akrab presiden keempat Indonesia itu.

Gus Dur menjadi presiden pasca-Reformasi. Naiknya Gus Dur menjadi presiden didukung penuh Amien Rais yang pada 1999 dianggap sebagai lokomotif poros tengah. Gus Dur mengalahkan Megawati yang akhirnya menjadi wakil presidennya. Perjalanan Gus Dur menjadi presiden tercatat tidak mulus.

Pada tahun kedua, MPR yang dikomando Amien Rais sebagai ketuanya melengserkan Gus Dur dari kursi presiden dengan jalan sidang istimewa DPR. Amien bersama Akbar Tandjung yang saat itu menjadi ketua DPR adalah dua tokoh yang berperan besar menggulingkan Gus Dur. Akibat impeachment tersebut Megawati akhirnya menduduki kursi presiden menggusur Gus Dur.

Susilo Bambang Yudhoyono yang kala itu menjadi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan tidak bisa menjalankan perintah Gus Dur yang mengeluarkan dekrit presiden. Secara logika sederhana, Amien, Megawati, Akbar dan SBY bisa dengan mudah disebutkan sebagai "lawan politik" Gus Dur. Karena dengan posisi mereka kala itu memberikan sumbangan yang besar bagi kejatuhan Gus Dur.

Namun rupanya bagi Gus Dur tidak ada dendam yang berlaku dan layak untuk dilanggengkan. Ketegangan bisa tercairkan jika untuk masalah-masalah bangsa. Semua orang yang sebelumnya menjadi lawan politik Gus Dur cukuplah terjadi pada peristiwa tertentu, namun pada kesempatan dan permasalahan lain mereka bisa menjadi sahabat. Sementara itu untuk masalah pribadi tidak ada musuh menurut Gus Dur.

Dengan Amien yang seharusnya menjadi musuh terbesarnya, Gus Dur setelah lengser malah terlihat mesra dalam sejumlah forum. Walaupun sering berseberangan pendapat Gus Dur dalam perjalanan hidupnya pasca pelengseran tetap tidak memendam dendam pribadi. Dalam sejumlah forum dua tokoh yang pernah menjabat pimpinan tertinggi dua ormas Islam terbesar di Indonesia ini tetap saling melempar sapa dan senyum.

Begitu juga dengan Akbar pun Gus Dur tidak pernah memendam dendam walaupun Akbar adalah aktor yang berupaya melengserkannya. Karena itu, Akbar pun sangat hormat kepada mantan Ketua PBNU tersebut. Pada acara peluncuran situs www.bangakbar.com di Jakarta pada 2008, Gus Dur juga turut memberikan sambutan hangat.

Walaupun dengan keterbatasan yang ada, Gus Dur tetap hadir dan mengapresiasi situs pribadi politikus Golkar tersebut. Sebagai seorang negarawan, Gus Dur selalu memperhatikan bangsanya. Jika tidak ada yang berkenan dia akan nyaring menyuarakan kritikan. Termasuk kritikan pada pemerintahan SBY. Salah satu kebijakan yang dikritiknya adalah kebijakan pencabutan subsidi BBM yang akan menyebabkan naiknya harga BBM.

Pada Agustus 2005, Gus Dur menjadi salah satu pemimpin koalisi politik yang bernama Koalisi Nusantara Bangkit Bersatu bersama dengan Try Sutrisno, Wiranto, Akbar Tanjung, dan Megawati. Koalisi ini melakukan kritik. Terbukti Gus Dur tidak memperlihatkan permusuhan kepada Akbar Tandjung atau Megawati yang sebenarnya pernah berperan besar menjatuhkannya.

Baginya jika ada ide yang bisa diusung bersama, maka ide itulah yang menyatukan mereka sehingga Gus Dur tidak membedakan dan melupakan "dosa" yang pernah dilakukan Akbar dan Megawati tersebut. Walaupun Gus Dur sering mengkritik SBY dengan keras, bukan berarti secara personal Gus Dur pernah membenci SBY. Hal ini dicontohkan Gus Dur yang menjadi mantan presiden yang sering menghadiri upacara 17 Agustus di Istana Merdeka.

Bahkan Gus Dur dan istrinya Sinta Nuriyah yang sama-sama menggunakan kursi roda datang pada acara open house yang diadakan SBY pada saat Lebaran. Langkah keakraban Gus Dur ini juga dibalas SBY, salah satunya adalah dengan menjadi saksi nikah putri Gus Dur Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid. Dengan Megawati pun yang menurut sejumlah orang "menusuk" dari belakang pada saat pelengseran, Gus Dur tetap memperlihatkan tidak ada permasalahan yang dihadapi.

Sikap kenegarawanan Gus Dur ini tentu akan sulit dilakukan orang lain jika masih memikirkan ego pribadi tanpa memikirkan kepentingan yang lebih luas. Memberikan maaf ataupun apresiasi bagi orang biasa akan sulit dilakukan kepada orang lain yang pernah menjadi musuh. Namun hal ini tidak berlaku bagi Gus Dur. (abdul malik/islahuddin)

Sumber tulisan: Koran Seputar Indonesia Sabtu, 5/6/2010 (baca)

PRESIDEN ABDURRAHMAN WAHID (GUSDUR)

KH Abdurrahman Wahid, akrab dipanggil Gus Dur (lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940; umur 68 tahun; terlahir dengan nama Abdurrahman Addakhil) adalah tokoh Muslim Indonesia dan pemimpin politik yang menjadi Presiden Indonesia yang keempat dari tahun 1999 hingga 2001. Ia adalah ketua Nahdlatul Ulama dan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Wahid menggantikan Presiden B. J. Habibie setelah dipilih oleh MPR hasil Pemilu 1999. Masa kepresidenan yang dimulai pada 20 Oktober 1999 berakhir pada Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Tepat 23 Juli 2001, kepemimpinannya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri setelah mandatnya dicabut oleh MPR. Abdurrahman Wahid menyelenggarakan pemerintahan dengan dibantu oleh Kabinet Persatuan Nasional.

Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam tahun 1940 di Denanyar Jombang, Jawa Timur dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Terdapat kepercayaan bahwa ia lahir tanggal 4 Agustus, namun kalender yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah kalender Islam yang berarti ia lahir pada 4 Sya’ban, sama dengan 7 September 1940.

Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. “Addakhil” berarti “Sang Penakluk”.[1] Kata “Addakhil” tidak cukup dikenal dan diganti nama “Wahid”, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. “Gus” adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati “abang” atau “mas”.[1]

Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Wahid lahir dalam keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, Bisri Syansuri, adalah pengajar Muslim pertama yang mengajarkan kelas pada wanita. Ayah Gus Dur, Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang.

Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia memiliki darah Tionghoa. Abdurrahman Wahid mengaku bahwa ia adalah keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V. Tan Kim Han sendiri kemudian berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis, Louis-Charles Damais diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang diketemukan makamnya di Trowulan.

Pada tahun 1963, Wahid menerima beasiswa dari Kementrin Agama untuk belajar di Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir. Ia pergi ke Mesir pada November 1963. Meskipun ia mahir berbahasa Arab, Gus Dur diberitahu oleh Universitas bahwa ia harus mengambil kelas remedial sebelum belajar Islam dan bahasa Arab. Karena tidak mampu memberikan bukti bahwa ia memiliki kemampuan bahasa Arab, Wahid terpaksa mengambil kelas remedial.

Abdurrahman Wahid menikmati hidup di Mesir pada tahun 1964; menonton film Eropa dan Amerika, dan juga menonton sepak bola. Wahid juga terlibat dengan Asosiasi Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis majalah asosiasi tersebut. Pada akhir tahun, ia berhasil lulus kelas remedial Arabnya. Ketika ia memulai belajarnya dalam Islam dan bahasa Arab tahun 1965, Gus Dur kecewa. Ia telah mempelajari banyak materi yang diberikan dan menolak metode belajar yang digunakan Universitas.

Di Mesir, Wahid dipekerjakan di Kedutaan Besar Indonesia. Pada saat ia bekerja, peristiwa Gerakan 30 September terjadi. Mayor Jendral Suharto menangani situasi di Jakarta dan upaya pemberantasan Komunis dilakukan. Sebagai bagian dari upaya tersebut, Kedutaan Besar Indonesia di Mesir diperintahkan untuk melakukan investigasi terhadap pelajar universitas dan memberikan laporan kedudukan politik mereka. Perintah ini diberikan pada Wahid, yang ditugaskan menulis laporan.

Wahid mengalami kegagalan di Mesir. Ia tidak setuju akan metode pendidikan serta pekerjaannya setelah G 30 S sangat mengganggu dirinya. Pada tahun 1966, ia diberitahu bahwa ia harus mengulang belajar. Pendidikan prasarjana Gus Dur diselamatkan melalui beasiswa di Universitas Baghdad. Wahid pindah ke Irak dan menikmati lingkungan barunya. Meskipun ia lalai pada awalnya, Wahid dengan cepat belajar. Wahid juga meneruskan keterlibatannya dalam Asosiasi Pelajar Indonesia dan juga menulis majalah asosiasi tersebut.

Gus Dur kembali ke Jakarta mengharapkan bahwa ia akan pergi ke luar negeri lagi untuk belajar di Universitas McGill di Kanada. Ia membuat dirinya sibuk dengan bergabung ke Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), organisasi yg terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat. LP3ES mendirikan majalah yang disebut Prisma dan Wahid menjadi salah satu kontributor utama majalah tersebut. Selain bekerja sebagai kontributor LP3ES, Wahid juga berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Pada saat itu, pesantren berusaha keras mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan cara mengadopsi kurikulum pemerintah. Wahid merasa prihatin dengan kondisi itu karena nilai-nilai tradisional pesantren semakin luntur akibat perubahan ini. Gus Dur juga prihatin dengan kemiskinan pesantren yang ia lihat. Pada waktu yang sama ketika mereka membujuk pesantren mengadopsi kurikulum pemerintah, pemerintah juga membujuk pesantren sebagai agen perubahan dan membantu pemerintah dalam perkembangan ekonomi Indonesia. Wahid memilih batal belajar luar negeri dan lebih memilih mengembangkan pesantren.

Abdurrahman Wahid meneruskan karirnya sebagai jurnalis, menulis untuk majalah Tempo dan koran Kompas. Artikelnya diterima dengan baik dan ia mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar, membuat dia harus pulang-pergi antara Jakarta dan Jombang, tempat Wahid tinggal bersama keluarganya.

Latar belakang keluarga Wahid segera berarti. Ia akan diminta untuk memainkan peran aktif dalam menjalankan NU. Permintaan ini berlawanan dengan aspirasi Gus Dur dalam menjadi intelektual publik dan ia dua kali menolak tawaran bergabung dengan Dewan Penasehat Agama NU. Namun, Wahid akhirnya bergabung dengan Dewan tersebut setelah kakeknya, Bisri Syansuri, memberinya tawaran ketiga. Karena mengambil pekerjaan ini, Wahid juga memilih untuk pindah dari Jombang ke Jakarta dan menetap disana. Sebagai anggota Dewan Penasehat Agama, Wahid memimpin dirinya sebagai reforman NU.

Pada saat itu, banyak orang yang memandang NU sebagai organisasi dalam keadaan stagnasi/terhenti. Setelah berdiskusi, Dewan Penasehat Agama akhirnya membentuk Tim Tujuh (yang termasuk Wahid) untuk mengerjakan isu reformasi dan membantu menghidupkan kembali NU. Reformasi dalam organisasi termasuk perubahan keketuaan. Pada 2 Mei 1982, pejabat-pejabat tinggi NU bertemu dengan Ketua NU Idham Chalid dan meminta agar ia mengundurkan diri. Idham, yang telah memandu NU pada era transisi kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto awalnya melawan, tetapi akhirnya mundur karena tekanan. Pada 6 Mei 1982, Wahid mendengar pilihan Idham untuk mundur dan menemuinya, lalu ia berkata bahwa permintaan mundur tidak konstitusionil. Dengan himbauan Wahid, Idham membatalkan kemundurannya dan Wahid bersama dengan Tim Tujuh dapat menegosiasikan persetujuan antara Idham dan orang yang meminta kemundurannya.

Kepresidenan Gus Dur terkenal akan perjalanan jarak jauhnya, termasuk ke tempat-tempat kontroversial. Pada November 1999, Wahid mengunjungi negara-negara anggota ASEAN, Jepang, Amerika Serikat, Qatar, Kuwait, dan Yordania. Setelah itu, pada bulan Desember, ia mengunjungi Republik Rakyat Cina.

Pada Januari 2000, Gus Dur melakukan perjalanan keluar negeri lainnya ke Swiss untuk menghadiri Forum Ekonomi Dunia dan mengunjungi Arab Saudi dalam perjalanan pulang menuju Indonesia. Pada Februari, Wahid melakukan perjalanan luar negeri ke Eropa lainnya dengan mengunjungi Inggris, Perancis, Belanda, Jerman, dan Italia. Dalam perjalanan pulang dari Eropa, Gus Dur juga mengunjungi India, Korea Selatan, Thailand, dan Brunei Darussalam. Pada bulan Maret, Gus Dur mengunjungi Timor Leste. Di bulan April, Wahid mengunjungi Afrika Selatan dalam perjalanan menuju Kuba untuk menghadiri pertemuan G-77, sebelum kembali melewati Kota Meksiko dan Hong Kong. Pada bulan Juni, Wahid sekali lagi mengunjungi Amerika, Jepang, dan Perancis dengan Iran, Pakistan, dan Mesir sebagai tambahan baru ke dalam daftar negara-negara yang dikunjunginya.

Wahid menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat orang anak: Alissa Qotrunnada, Zannuba Ariffah Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari. Wahid ditahbiskan sebagai “Bapak Tionghoa” oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, yang selama ini dikenal sebagai kawasan Pecinan pada tanggal 10 Maret 2004.

Pada 11 Agustus 2006, Gadis Arivia dan Gus Dur mendapatkan Tasrif Award-AJI sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006. Penghargaan ini diberikan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Gus Dur dan Gadis dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam memperjuangkan kebebasan berekpresi, persamaan hak, semangat keberagaman, dan demokrasi di Indonesia. Gus Dur dan Gadis dipilih oleh dewan juri yang terdiri dari budayawan Butet Kertaradjasa, pemimpin redaksi The Jakarta Post Endy Bayuni, dan Ketua Komisi Nasional Perempuan Chandra Kirana. Mereka berhasil menyisihkan 23 kandidat lain. Penghargaan Tasrif Award bagi Gus Dur menuai protes dari para wartawan yang hadir dalam acara jumpa pers itu. Seorang wartawan mengatakan bahwa hanya karena upaya Gus Dur menentang RUU Anti Pornoaksi dan Pornografi, ia menerima penghargaan tersebut. Sementara wartawan lain seperti Ati Nurbaiti, mantan Ketua Umum AJI Indonesia dan wartawan The Jakarta Post membantah dan menanyakan hubungan perjuangan Wahid menentang RUU APP dengan kebebasan pers.

Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Abdurrahman_Wahid

"Gus Dur" SANG PENCERAH


Gusdur itulah panggilan populernya dan disetiap penjuru tanah air NKRI yang kita cintai ini tiada yang tidak kenal dengannya, baik itu kritikannya, guyonannya dan pendapatnya yang susah dimengerti tetapi begitu mengena dalam memajukan Republik ini. Begitu populernya sosok KH. Abdurrahman Wahid dan membuminya nama beliau di hati lintas generasi anak bangsa pasti akan mengenang sosok beliau seorang ulama dari Jawa Timur yang meretas karier hingga menduduki RI 1. Gusdur adalah sosok ulama yang santun dan memiliki kedalaman ilmu agama yang sangat mendalam sehingga merasuk keseluruh ummat tidak hanya Ummat Islam bahkan lintas sektoral diseantero negeri ini. Kepergiannya membawa duka yang sangat mendalam bagi rakyat Indonesia dan peziarah tak henti mengunjungi makam beliau di Jombang. Sebagai anak Bangsa kita sepatutnya menghormati dan bangga bahwa KH. Abdurrahman Wahid adalah sosok teladan yang pernah mengukir sejarah manis Bangsa ini. Selamat Jalan KH. Abdurrahman Wahid. Doa kami selalu menyertaimu.

Gus Dur, NU, dan Indonesia


Di sela-sela proses pemakaman Gus Dur di Pondok Pesantren Tebuireng, beberapa orang berbisik sambil bertanya, ”Bagaimana masa depan Nahdlatul Ulama sepeninggal Gus Dur?” Bahkan, ada juga yang mengajukan pertanyaan, ”Bagaimana masa depan Indonesia?”
Bisa jadi, yang bertanya seperti itu bukan hanya warga nahdliyin yang sangat mengagumi Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Hal ini tidak lepas dari realitas bahwa yang merasa kehilangan atas ”kepulangan” Gus Dur juga beragam. Pemikiran dan aksi Gus Dur yang lintas etnis, kesukuan, agama, dan bahkan negara telah memungkinkan hal ini terjadi.
 Basis pemikiran
Banyak orang NU dan Indonesia yang cerdas dan memiliki kepemimpinan yang bagus. Namun, Gus Dur memiliki keunikan yang membedakannya dengan orang- orang semacam itu. Bahkan, dalam taraf tertentu, Gus Dur berbeda dengan almarhum kakeknya, Kiai Hasyim Asy’ari dan almarhum ayahnya, Kiai Wahid Hasyim.
Gus Dur lahir di lingkungan tradisi pesantren yang kuat di Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Namun, Gus Dur juga tumbuh dan berkembang di alam modern yang kuat pula, di ”kawasan Menteng”. Dua lingkungan ini telah menyatu di dalam diri Gus Dur, yang kemudian terefleksi pada pikiran-pikirannya.
Dunia pesantren telah memungkinkan Gus Dur memahami dan mendalami pemikiran-pemikiran klasik Islam, khususnya yang berakar pada tradisi Ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja). Sementara itu, penguasaan bahasa asing (non-Arab), kemampuan belajar otodidak yang luar biasa, dan bergaul dengan komunitas nonpesantren telah memungkinkan Gus Dur berkenalan dengan pemikiran-pemikiran mondial.
Ladang dan benih-benih pemikiran Gus Dur berkembang dan teraktualisasi berseiring dengan kemampuannya di bidang tulis menulis, suatu bidang yang jarang digeluti oleh anggota komunitas pesantren. Maka, sejak 1970-an, nuansa pemikiran yang dihadirkan oleh Gus Dur memiliki kekhasan, yaitu ulasan mengenai isu-isu kontemporer yang berakar pada tradisi pemikiran Islam klasik. Di antara pemikiran Gus Dur yang mengemuka adalah berkaitan dengan relasi antara Islam dan kebangsaan. Dalam pandangan Gus Dur, keduanya tidak harus didudukkan di dalam posisi yang saling bertentangan. Keduanya bisa menjadi satu kesatuan yang berkait.
Wujud pemikiran itu terejawantahkan melalui keputusan alim ulama NU pada tahun 1983 bahwa negara Indonesia yang berasas Pancasila itu bersifat final. Ini memang keputusan jam’iyah, organisasi NU, dan bukan keputusan pribadi Gus Dur. Namun, Gus Dur merupakan salah satu aktor kunci bagi lahirnya keputusan itu.
Dalam pandangan NU—dan Gus Dur— negara Pancasila merupakan negara ideal yang mampu menaungi dan menghargai kebinekaan masyarakat Indonesia. Negara demikian memungkinkan Islam dan agama-agama lain tumbuh dan berkembang dalam sebuah wadah kebersamaan.
Pandangan semacam itu pula yang mendorong lahirnya pemikiran dan praksis Gus Dur yang bercorak multikultural. Realitas bahwa negara-bangsa Indonesia itu beragam dari segi etnik, agama, dan pembeda-pembeda lainnya tidak bisa dikonstruksi melalui pemikiran atau kelompok tertentu. Karena itu, sejak awal, Gus Dur merupakan pembela kelompok-kelompok minoritas yang merasa termarjinalkan oleh kelompok mayoritas.
Dalam pandangan Gus Dur, betapapun kuatnya mayoritas tidak boleh melakukan penyingkiran terhadap kelompok-kelompok minoritas karena mereka memiliki hak untuk tumbuh, berkembang, dan berdampingan dengan kelompok mayoritas.  
Kepemimpinan
Pemikiran kebangsaan semacam itu bisa jadi bukan hanya khas Gur Dur. Pemi- kir-pemikir lain juga pernah mengemukakan hal serupa. Yang membedakan Gus Dur dengan yang lain adalah berkaitan de- ngan pengaruh pemikian-pemikiran itu.
Sejak 1980-an Gus Dur telah menjadi salah satu sosok yang sangat berpengaruh. Kapasitas pribadi yang berbeda dengan yang lain dan trah darah pemimpin besar Islam—Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Bisri Sansuri—telah menjadi sumber legitimasi kepemimpinan yang cukup besar bagi dirinya. Bagi orang luar, kepemimpinan itu lebih terlihat pada kemampuannya memformulasikan gagasan-gagasan secara orisinal, jernih, dan mudah terkomunikasikan, serta kemampuannya mengendalikan organisasi besar NU. Bagi warga NU, kepemimpinan itu bersumber pada kepenguasaannya pada tradisi pemikiran Aswaja, trah kiai besar, dan kemampuannya melakukan olah spiritual.
Tidak seperti kebanyakan pemimpin modern yang semata-mata mengedepankan pemikiran kasatmata semata. Gus Dur sangat dekat dengan olah spiritual. Gus Dur sangat rajin mengunjungi makam- makam, khususnya makam-makam leluhur dan tokoh-tokoh spiritual. Bahkan, konon, Gus Dur biasa berkomunikasi dengan tokoh-tokoh yang telah ”berpulang” itu. Kemampuan semacam itu membuat Gus Dur bukan pemimpin biasa.
Implikasinya, apa yang digagas dan dikerjakan juga bukan hal yang biasa saja. Pemikiran tentang multikulturalisme, misalnya, tidak hanya telah menjadi salah satu pegangan penting bagi warga NU di dalam berbangsa dan bernegara. Komunitas di luar NU juga telah menjadikannya sebagai rujukan.
Dalam situasi semacam itu, tidaklah mengherankan kalau muncul pertanyaan tentang masa depan NU dan ke-Indonesiaan. Sosok Gus Dur telah memungkin- kan NU menjalin komunikasi yang lebih luas dan intens dengan komunitas-komu- nitas non-NU. Sosok Gus Dur pula telah memungkinkan nilai-nilai multikulturalisme terpahami dan terpraktikkan, khususnya di kalangan komunitas Muslim.
Gus Dur memang telah tiada. Namun, pemikiran-pemikirannya tidak akan mudah sirna mengikutinya terutama di lingkungan NU karena di antara sumber pemikiran Gus Dur itu berasal dari tradisi pesantren. Selain itu, saat ini telah muncul pemikir-pemikir muda NU yang cukup pa- ham apa yang telah dilakukan Gus Dur.
Saat ini, masalah kebangsaan di Indo- nesia masih menghadapi tantangan yang tidak ringan. Di antara kelompok-kelompok masyarakat, baik yang mayoritas maupun minoritas, telah muncul pemikiran- pemikiran dan aksi yang tidak saling menyapa. Dalam situasi semacam itu, tidaklah salah apabila saat ini kita kembali pada akar berdirinya negara-bangsa Indonesia, yang dibangun di atas perbedaan-perbedaan untuk kebersamaan. Pemikiran Gus Dur layak menjadi salah satu rujukan penting.

UNTUKMU GUS DUR


Sampai saat ini, tak ada tokoh Indonesia yang mampu meneteskan air mataku berulang kali ketika ia pergi meninggalkan kita untuk selama-lamanya, kecuali KH. Abdurrahman Wahid. Air mata itu sudah mulai bercucuran disaat ia sakit dan di bopong menuju ke RSCM kemaren. Bukan karena saya warga NU, bukan pula karena ia mantan presiden, juga bukan karena aku pernah menulis tentangnya (skripsi), tetapi semata-mata karena sosoknya yang tak tergantikan dalam; membela kelompok minoritas, membela pluralisme, pejuang demokrasi, dan keberaniannya untuk tidak tunduk kepada otoritarianisme. Ia bukan saja intelektual di belakang meja, bukan pula kritikus ulung di media massa, tapi pelaku atas gagasan-gagasannya.
LANGKAHNYA LEBIH NYATA DARI KATA-KATANYA.


"Mereka Tak Hanya Menduduki, Malah Tidur-Tiduran Di Sana..." (Abdurrahman Wahid)


Kantor Nahdlatul Ulama di Jakarta diduduki militer? Itulah berita menggegerkan yang sempat tersiar luas sampai ke cabang-cabang NU seluruh Indonesia. Bahkan, ada pengurus cabang NU di berbagai daerah yang menerima foto sepasukan marinir dan panser nongkrong di depan kantornyaAbdurrahman Wahid itu.
Jadi bagaimana nasib Gus Dur? Saat ditemui TEMPO Interaktif, Selasa (6 Agustus 1996), Gus Dur malah terkekeh-kekeh ketika ditanya kabar itu. "Kamu ini kok begitu saja mau ditulis," katanya mencoba serius. Berita itu tidak benar. Yang benar, sehari setelah kerusuhan 27 Juli 1996, banyak tentara ditugasi untuk mengamankan sepanjang jalan Salemba sampai kawasan Senen. "Lha karena Kantor Pengurus Besar NU di tengah-tengah, ke sana gampang ke sini gampang, mereka tidak hanya menduduki malah tidur-tiduran," kata Gus Dur berseloroh. "Malah sempat ngising di wc belakang," celetuknya sambil santai makan singkong.
Sehari setelah kejadian, Minggu 28 Juli, Gus Dur sengaja datang ke kantor di Jalan Kramat Raya itu. Dia khawatir karena sepanjang jalan itu ada beberapa gedung yang dibakar dan dirusak. Ternyata, banyak pasukan berbaju loreng, terutama dari kesatuan marinir yang sedang berteduh di PBNU. Begitu melihat kiai berbadan gemuk yang khas itu, maka berhamburanlah para tentara tadi menghampiri Gus Dur. Menurut kisah seorang anak buah Gus Dur, mereka selain mencium tangan Gus Dur juga menjelaskan asal-usul mereka yang kebanyakan dari Jawa Timur -- sama seperti Gus Dur yang asalnya dari Jombang. Sibuklah Gus Dur seharian itu dengan "tamu-tamu"-nya. Dia menyuruh pembantu PB NU untuk membelikan nasi bungkus buat pasukan berbaju loreng yang sudah berjaga di sana sejak pukul dua dini hari.
Kalau banyak isu dan gosip seputar Gus Dur dan kisruh PDI, itu lantaran Gus Dur memang dekat dengan Megawati Soekarnoputri. Sedianya, Gus Dur akan menjadi salah satu pembicara dalam Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW pada hari Minggu 28 Juli. Sehari sebelum acara itu pecah kerusuhan dan batallah Gus Dur tampil di panggung yang sehari-hari dipakai untuk mimbar bebas itu.


KARTU KREDIT (CREDIT CARD)


Definisi Kartu Kredit
Definisi secara bahasa:
Kata bithaqah (kartu) secara bahasa digunakan untuk potongan kertas kecil atau dari bahan lain, diatasnya ditulis penjelasan yang berkaitan dengan potongan kertas itu. sementara kata i’timan secara bahasa artinya adalah kondisi aman dan saling percaya.1 Dalam kebiasaan dalam dunia usaha artinya semacam pinjaman, yakni yang berasal dari kepercayaan terhadap peminjam dan sikap amanahnya serta kejujurannya. Oleh sebab itu ia memberikan dana itu dalam bentuk pinjaman untuk dibayar secara tertunda.
Definisi secara terminologi:
Kartu kredit yaitu kartu yang dikeluarkan oleh pihak Bank dan sejenisnya yang dapat digunakan oleh pembawanya untuk membeli segala keperluan dan barang-barang serta pelayanan tertentu secara utang.2
Kalau kita terjemahkan kata ‘kredit giro’ ini secara langsung artinya adalah kartu pinjaman. Atau kartu yang memberikan kesempatan kepada pembawanya untuk mendapatkan pinjaman.
Macam-Macam Kartu Kredit
Kartu kredit adalah bagian dari beberapa bentuk kartu kerjasama finansial. Kartu kredit ini terbagi menjadi dua:
  1. Kartu Kredit Pinjaman yang Tidak Dapat Diperbaharui (Charge Card)
    Di antara keistimewaan paling menonjol dari kartu ini adalah diharuskannya menutup total dana yang ditarik secara lengkap dalam waktu tertentu yang diperkenankan, atau sebagian dari dana tersebut. Biasanya waktu yang diperkenankan tidak lebih dari tiga puluh hari, namun terkadang bisa mencapai dua bulan. Kalau pihak pembawa kartu terlambat membayarnya dalam waktu yang telah ditentukan, ia akan dikenai denda keterlambatan. Dan kalau ia menolak membayar, keanggotaannya dicabut, kartunya ditarik kembali dan persoalannya diangkat ke pengadilan.
  2. Kartu Kredit Pinjaman yang Bisa Diperbaharui (Revolving Credit Card)
    Jenis kartu ini termasuk yang paling popular di berbagai negara maju. Pemilik kartu ini diberikan pilihan cara menutupi semua tagihannya secara lengkap dalam jangka waktu yang ditoleransi atau sebagian dari jumlah tagihannya dan sisanya diberikan dengan cara ditunda, dan dapat diikutkan pada tagihan berikutnya. Bila ia menunda pembayaran, ia akan dikenakan dua macam bunga; pertama, bunga keterlambatan, kedua, bunga dari sisa dana yang belum ditutupi. Kalau ia berhasil menutupi dana tersebut dalam waktu yang ditentukan, ia hanya terkena satu macam bunga saja, yaitu bunga penundaan pembayaran. Dana yang ditarik tidak akan terbatas bila pemiliknya terus saja melunasi tagihan beserta bunga kartu kreditnya secara simultan.
Kartu Debit (Non-Kredit/Debit Card)
Yakni kartu-kartu yang terfokus pada pemberian pinjaman kepada para pembawanya. Di antara jenis terpenting dari kartu-kartu ini adalah sebagai berikut:
  1. Kartu Debit Langsung
    Yakni kartu yang dikeluarkan oleh pihak bank bersama organisasi Internasional yang mengurusi soal kartu kredit ini, bentuknya adalah kartu yang langsung mendebit rekening untuk mentransfer jumlah dana yang ditarik dari rekening pemiliknya kepada pedagang secara langsung. Adanya kartu ini syaratnya bahwa si pemilik harus terlebih dahulu mempunyai kartu rekening atau ATM dari pihak bank bersangkutan. Kalau kartunya sedang On-Line Debit, transfer akan berjalan sempurna pada hari tersebut. Namun kartu kredit tersebut sedang Off-Line Debit proses transfer tersebut bisa membutuhkan waktu beberapa hari. Kartu ini tidak memberikan pinjaman kepada pemiliknya dan tidak memberikan peluang kepadanya untuk melakukan transaksi pembelian melebihi jumlah dana yang dia miliki dalam rekeningnya.
    Bank yang mengeluarkan kartu ini tidak membayar jumlah dana yang dikeluarkan dari kasnya kepada para pedagang untuk kemudian menagihnya dari pemilik kartu. Namun kartu ini hanya berfungsi mendebit rekening pemilik kartu untuk ditransfer ke rekening pedagang bersangkutan. Fungsinya mirip dengan cek. Kartu Debit semacam ini banyak digunakan di negara-negara maju yang memang berkeinginan menerapkan budaya konsumtif dan mendorong masyarakat agar menabungkan uangnya di bank-bank yang ada.
  2. Kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM)
    Yakni kartu yang diberikan pihak bank kepada para nasabahnya secara cuma-cuma dengan sekedar membuka rekening di Bank bersangkutan, agar pihak nasabah bisa dengan leluasa mengambil uangnya melalui rekening yang dimilikinya kapan saja dia menghendaki melalui mesin ATM dan dapat juga digunakan untuk beberapa lokasi penjualan tertentu. Sehingga ia berpeluang menarik uang kontan dan mentransfer dana antar ATM berbeda, atau untuk sekedar mengetahui jumlah saldo dan untuk membayar barang-barang yang dibelinya (di lokasi penjualan tertentu), dst. Kartu ini secara otomatis terperbaharui selama rekening pemiliknya masih terbuka di bank bersangkutan.
Pendudukan Masalah Secara Fiqih Seputar Kartu Kredit
Sudah jelas bahwa hukum terhadap sesuatu itu didasarkan atas hasil dari persepsi tentang sesuatu tersebut. Sedetail apa pengetahuan kita terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan kartu-kartu kredit tersebut, akan menentukan kedetailan kita dalam mendudukkan masalah terhadap berbagai transaksi yang dikenal dalam fiqih Islam dan penjelasan tentang hukum-hukumnya, halal atau haram, serta menetapkan berbagai alternatif pengganti yang disyariatkan bila hasil penelitian menegaskan keharamannya.
Kartu kredit ini membentuk tiga hal terkait yang akan kita ulas secara berurut sebagai berikut:
Pertama: Kaitan Antara Kartu Tersebut dengan Pihak Bank yang Mengeluarkannya dalam ‘Transaksi Pengeluaran Kartu.’
Banyak sudah kajian fiqih seputar hubungan ini. Banyak sudah pendapat yang lahir seputar persoalan itu dalam berbagai Lembaga Pengkajian Fiqih tentang keberadaan kartu ini sebagai pinjaman dari pihak bank yang mengeluarkannya, atau sebagai jaminan untuk melaksanakan berbagai komitmen terhadap pihak lain, atau menjadi penjamin untuk berhubungan dengan pihak lain.
Kemungkinan gabungan antara jaminan, penjamin dan pinjaman itulah yang paling dekat dengan teori untuk mengulas transaksi ini. Karena itulah yang menjadi tujuan sesungguhnya dari keberadaan kartu itu. Karena sebelum digunakan, kartu itu adalah jaminan, dan janji pinjaman serta penjamin. Namun setelah digunakan dalam arti sesungguhnya dan pihak bank telah menutupi biaya yang dikeluarkan untuk mewakili pihak nasabah, janji tersebut telah menjadi kenyataan sehingga menjadi pinjaman dan penjamin dalam arti sesungguhnya.
Kedua: Hubungan Antara Kartu Ini dengan Bank yang Mengeluarkan Kartu dan Pihak Pedagang.
Juga sudah banyak ulasan fiqih seputar hubungan ini antara keberadaannya yang mirip dengan pengurangan nilai tukar dengan keberadaannya sebagai jaminan, yakni bahwa pihak yang mengeluarkan kartu telah menjamin pihak pedagang bahwa ia akan membayarkan harga barang jualannya dengan perantaraan kartu tersebut, dan juga keberadaannya sebagai penjamin dengan upah, atau sebagai perantara. Bahkan ada sebagian pihak yang mengeluarkan kartu itu dalam hubungannya dengan jual-beli. Jadi yang dijadikan sebagai pihak yang mengeluarkan kartu adalah pembeli yang sesungguhnya dari barang-barang tersebut, kemudian baru dikembalikan kepada nasabah untuk dijual. Jual-beli ini mirip dengan jual-beli dengan sistem fixed price terhadap orang yang meminta dibelikan barang.
Kemungkinan pendudukan masalah paling menonjol terhadap dasar jaminan dan penjaminan ini adalah pendudukan masalah yang membuka peluang disyari’atkannya transaksi atau pendebetan yang dilakukan pihak bank dalam kasus ini. Karena upah yang dilarang dalam sistem jaminan adalah yang berasal dari pihak yang mendapatkan jaminan untuk yang menjamin. Sementara disini upah itu berasal dari pihak yang mendapatkan pengaruh dari jaminan, yakni pihak pedagang kepada pihak yang memberikan jaminan. Adapun upah dalam sistem jual-beli dengan penjaminan, dibolehkan dalam kondisi apapun.
Ketiga: Hubungan Antara Pemilik Kartu dengan Pedagang
Sudah berkali-kali juga dikeluarkan kajian fiqih berkaitan dengan hubungan ini, antara keberadaannya sebagai sistem hiwalah, dimana pihak pemegang kartu mengalihkan utangnya pada pedagang kepada pihak yang mengeluarkan kartu, dimana Hilawah semacam itu dapat direalisasikan dengan menandatangani rekening pembelian, antara keberadaan kartu itu yang demikian dengan keberadaannya sebagai mediator jual-beli atau sewa-menyewa. Sehingga transaksinya dibagi dua, antara posisi jual-beli atau sewa-menyewa, dengan objek transaksi pembuatan kartu. Kemudian tanggung jawab pembayaran dilimpahkan kepada pihak yang mengeluarkan kartu yang telah menjamin untuk menutupi biaya yang ditarik berupa pembelian atau penyewaan.
Penjelasan Global tentang Hakikat Kartu Kredit
Mungkin pendudukan masalah secara global yang paling mendekati hakikat dari kartu-kartu kredit tersebut adalah bahwa kartu tersebut secara umum tersusun dari beberapa transaksi.
Pertama, transaksi yang mengaitkan antara pihak yang mengeluarkan kartu dengan pihak pemegangnya. Transaksi ini terdiri dari tiga unsur; jaminan, penjaminan dan peminjaman. Pihak yang mengeluarkan kartu telah memberikan jaminan untuk pemegang kartu tersebut di hadapan pedagang, meminjamkan kepadanya dana yang dia tarik melalui kartu tersebut, lalu pemegang kartu telah menjadikan pihak bank sebagai penjaminnya untuk melunasi pembayaran tersebut kepada si pedagang.
Kedua, transaksi antara yang mengeluarkan kartu dengan pihak pedagang. Transaksi ini terdiri dari dua unsur saja; jaminan dan penjaminan. Pihak yang mengeluarkan kartu telah memberikan jaminan kepada pedagang untuk membayarkan semua haknya melalui kartu tersebut, yang kemudian pihak bank akan menagih pembayaran itu dari pemegang kartu nantinya dan memasukkannya ke dalam rekeningnya setelah terlebih dahulu memotongnya dengan biaya administrasi yang disepakati.
Ketiga, transaksi antara pemegang kartu dengan pedagang yang hukumnya disesuaikan dengan jual-beli atau penyewaan yang dilakukan sesuai dengan karakter transaksi disamping sistem hiwalah, yakni pemegang kartu itu melimpahkan pembayarannya terhadap barang jualan pedagang kepada pihak yang mengeluarkan kartu tersebut.
Hukum-hukum Syariat tentang Kartu Kredit
Kartu-kartu kredit ini mencuatkan beberapa kemusykilan menurut ajaran syari’at yang akan penulis paparkan sebagai berikut sebagian di antaranya:
Pertama: Persyaratan Berbau Riba
Transaksi untuk mengeluarkan kartu-kartu tersebut pada umumnya mengandung beberapa komitmen berbau riba yang intinya mengharuskan pemegang kartu untuk membayar bunga-bunga riba atau denda-denda finansial bila terlambat menutupi utangnya. Apa pengaruh komitmen-komitmen tersebut terhadap sah-tidaknya transaksi pembuatan kartu-kartu kredit ini?
Ulama fiqih kontemporer ketika membahas persoalan ini pandangan mereka terbagi menjadi dua kubu:
Pertama: Kubu yang membolehkan.
Mereka menganggap bahwa transaksi itu sah, namun komitmennya batal. Yakni apabila pihak nasabah yakin bahwa ia akan mampu menjaga diri untuk tidak terjerumus ke dalam konsekuensi menanggung akibat komitmen tersebut. Karena syarat rusak ini pada dasarnya menurut kacamata syari’at sudah batal dengan sendirinya. Syarat ini munkar dan justru harus dilakukan kebalikannya. Dasar mereka yang membolehkan adalah sebagai berikut:
  1. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika Sayyidah ‘Aisyah hendak membeli Barirah namun majikannya tidak mau melepaskannya kecuali dengan syarat, hak wala’ budak itu tetap milik mereka. Itu jelas syarat yang bertentangan dengan ajaran syari’at, karena loyalitas atau perwalian menurut syari’at diberikan kepada orang yang membebaskannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
    Belilah budak itu, dan tetapkan syarat bagi mereka, karena perwalian itu hanya diberikan kepada yang memerdekakan. Karena perwalian itu adalah hak orang yang membebaskannya.”3
    Makna hadits: Janganlah pedulikan, karena persyaratan mereka itu bertentangan dengan yang haq, ini bukan untuk pembolehan namun yang dimaksudkan adalah penghinaan dan tidak ambil peduli dengan syarat itu serta keberadaan syarat itu sama dengan tidak ada.
    Dari sini dapat dipahami bahwa jika seseorang memaksakan suatu syarat yang bertentangan dengan syari’at mengenai akad-akad yang diperlukan secara luas dan ia enggan untuk menetapkan akad tersebut kecuali berdasarkan syarat yang rusak ini, maka akad-akad ini tidak boleh dihentikan karena pemaksaan itu. Tidak boleh difatwakan mengenai ketidaklegalannya, tetapi tetap harus dilaksanakan. Dan harus diupayakan untuk membatalkan syarat yang rusak ini, baik lewat penguasa maupun dengan cara berusaha menjaga diri agar tidak terperangkap syarat tersebut bila pada satu masa tidak ada penguasa yang menegakkan syari’at Allah.
  2. Karena sudah terlalu banyak yang melakukannya di berbagai negeri dengan adanya transaksi pemakaian listrik, telepon dan lain sebagainya, yang kesemuanya menggunakan komitmen-komitmen yang sama, yaitu apabila pihak pelanggan terlambat membayar berarti harus dikenai denda tertentu. Namun ternyata tidak seorang pun ulama yang mengharamkan berlangganan fasilitas-fasilitas tersebut, padahal syarat-syarat tersebut ada di dalamnya.
  3. Pinjaman tidak begitu saja batal karena batalnya persyaratan. Bahkan peminjaman itu tetap sah meskipun syaratnya batal, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
    “Kenapa masih ada orang yang menetapkan syarat yang tidak berasal dari Kitabullah? Barangsiapa yang menetapkan syarat yang bukan berasal dari Kitabullah maka persyaratannya batal, meski jumlahnya seratus syarat.”4
Kedua: Kubu yang melarang.
Mereka menganggap transaksi tersebut batal. Demikian pendapat tegas dari kalangan Malikiyah dan Syafi’iyah.
Mereka membantah dalil yang digunakan oleh kubu pertama, yakni tentang hadits Barirah, bahwa qiyas itu adalah qiyas dengan alasan berbeda. Karena dalam kasus Barirah syarat tersebut mampu dibatalkan oleh Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha karena dianggap bertentangan dengan ajaran syari’at. Karena kejadian itu terjadi ketika syari’at Islam betul-betul masih menjadi panutan, Negara Islam masih menjadi pemelihara ajaran Islam dan masih memimpin dunia. Bagaimana mungkin bisa dibandingkan dengan syarat berbau riba dalam pengambilan kartu kredit yakni syarat yang bersandar pada referensi sekulerisme yang didasari atas pemisahan agama dengan negara, lalu mengingkari referensi Islam yang suci yang melibatkan agama dalam kehidupan manusia?
Mereka juga membantah qiyas dengan transaksi pemakaian listrik dan telepon, karena fasilitas ini amatlah dibutuhkan dan kemaslahatan kehidupan umat manusia amat tergantung kepadanya.
Sementara kartu kredit memiliki bobot vitalitas yang lebih rendah dari itu. Orang bisa saja hidup secara wajar atau cukup wajar tanpa menggunakan kartu-kartu itu. Namun ia tidak akan bisa hidup wajar tanpa menggunakan fasilitas listrik dan telepon misalnya.
Yang benar menurut kami bahwa hukumnya adalah boleh-boleh saja bagi orang yang berberat-sangka bahwa ia akan mampu menunaikan utangnya pada waktu yang diperkenankan, sehingga dengan demikian ia tidak akan terkena konsekuensi persyaratan itu, tentunya dengan mengupayakan segala cara yang bisa dilakukan untuk tujuan tersebut. Wallahu a’lam.

Kedua: Prosentase yang Dipotong oleh Pihak yang Mengeluarkan Kartu dari Bayaran untuk Pedagang
Sudah dimaklumi, bahwa melalui kartu-kartu itu pihak yang mengeluarkan tidak membayar jumlah bayaran yang ditetapkan dalam rekening pembayaran. Namun pihak yang mengeluarkan kartu akan memotong prosentase yang disepakati bersama dalam transaksi yang tegas antara pihak itu dengan pihak pedagang. Apa pendudukan masalah secara syar’i yang paling tepat berkaitan dengan hal tersebut?
Ahli fikih kontemporer berbeda pendapat dalam mengulas tentang jenis kartu tersebut:
Sebagian ada yang mendudukkan prosentase itu sebagai biaya administrasi, upah dari pengambilan pembayaran dari nasabah. Sementara mengambil upah dari usaha pengambilan utang atau menyampaikan barang yang dihutangkan adalah boleh-boleh saja.
Sebagian ada yang mendudukkanya sebagai upah dari jasa yang diberikan oleh pihak bank kepada pihak pedagang, seperti pesan-pesan, iklan, dan bantuan penyaluran barang atau yang sejenisnya. Bisa juga didudukkan sebagai upah perantara. Karena pihak bank sudah membantu mencarikan pelanggan untuk pihak pedagang, sehingga layak mendapatkan upah karenanya.
Sebagian menganggapnya sebagai kompensasi perdamaian bersama pihak yang memberi utang dengan jumlah yang lebih sedikit dari yang harus dibayar, karena hubungan antara pihak yang mengeluarkan kartu dengan pihak pemegang kartu di bawah sistem jaminan. Cara demikian dinyatakan boleh oleh kalangan Hanafiyah.
Sebagian ada juga yang berpandangan bahwa pengambilan prosentase itu tidak mengandung syubhatsebagai riba secara mendasar. Karena kita dihadapkan dengan persoalan rabat/diskon, bukan tambahan harga. Sehingga tidak ada hal yang menyeretnya kepada bentuk riba.
Apapun pendudukan masalah yang dipilih di sini, pengkajian fikih kontemporer tetap berkesimpulan bahwa pengambilan prosentase keuntungan di sini tetap dibolehkan, dengan catatan harus dibatasi sehingga layak disebut sebagai upah jasa yang diberikan kepada pihak pedagang dan tergambar langsung dalam rekening pembeliannya, dan juga agar dapat menarik para pelanggan untuk membeli barang kepada pedagang tersebut, mempermudah proses jual-beli mereka, lalu pihak bank yang mengeluarkan kartu itu dan pihak bank lain yang hanya melakukan transaksi dagang bisa membagi rata upah dari pelayanan tersebut, karena mereka secara bersamaan melakukan jasa tersebut untuk kepentingan pedagang.
Lembaga Syariat Perusahaan Perbankan ar-Rajihi membolehkan uang administrasi ini dalam fatwanya nomor 47, lembaga ini menetapkan bahwa tidak ada larangan mengambil prosentase dari harga yang dibeli oleh pemegang kartu, selama prosentase itu dipotong dari upah jasa atau dari harga barang. Sistem pemotongan ini diambil dari pihak penjual untuk kepentingan bank yang mengeluarkan kartu dengan perusahaan visa internasional.
Lembaga syari’at juga mengeluarkan fatwa yang membolehkan pengambilan prosentase keuntungan tersebut, fatwa itu ditujukan kepada Dewan Keuangan Kuwait dan Bank Islam Yordania, dimana uang administrasi yang diambil pihak bank dari pedagang yang menggunakan fasilitas kartu itu dihitung sebagai upah penjaminan karena menjadi penjamin dan mediator antara pedagang dengan pemegang kartu kredit, dan juga karena mediasi itu pihak bank menjadi sebab terjadinya banyak hal, seperti lakunya barang-barang yang dijualnya, rasa aman yang dirasakan para pelanggan, mendapatkan kesempatan memperoleh piutang dengan selamat. Sebagaimana jaminan itu terkadang juga tidak berpengaruh apa-apa. Karena uang administrasi itu tidak menambah jumlah harga dan juga tidak memperhatikan jumlah harga yang dijaminnya.
Ketiga: Denda Keterlambatan dan Bunga Riba
Pihak yang mengeluarkan kartu ini menetapkan beberapa bentuk denda finansial karena keterlambatan penutupan utang, karena penundaan atau karena tersendatnya pembayaran dana yang ditarik dari melalui kartu. Denda semacam itu termasuk riba yang jelas yang tidak pantas diperdebatkan lagi. Itu termasuk riba nasi’ah yang keharamannya langsung ditentukan melalui turun-nya ayat al-Qur’an. Bahkan para pelakunya diancam perang oleh Allah dan RasulNya!!
Bagaimana Mengatasi Problematika Keterlambatan Pembayaran utang?
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa bunga dan denda keterlambatan membayar utang adalah jelas-jelas riba jahiliyah yang diharamkan. Tidak ada alasan bagi bank-bank Islam untuk menerapkannya sama sekali. Maka bagaimana persoalan keterlambatan pembayaran utang itu bisa diatasi dalam bingkai ajaran Islam?
Ada sebagian alternatif untuk bunga-bunga riba dan denda-denda keterlambatan itu yang akan kami sebutkan sebagian di antaranya:
Memberikan kelonggaran kepada pihak yang berhutang, kalau ia adalah orang miskin yang kesulitan mengembalikan utangnya. Membatalkan keanggotaannya, menarik kartu kreditnya kemudian mengadukan persoalannya ke pengadilan, lalu melimpahkan kepadanya semua biaya kemelut tersebut. Bisa juga dengan menyebarkan nama pelanggan bersangkutan dalam daftar hitam (black list), diumumkan kepada seluruh bank agar tidak menerimanya sebagai anggota dan juga agar menjadi pelajaran bagi orang-orang yang berperilaku sepertinya.
Bolehkah Membeli Emas atau Perak dengan Kartu Kredit Tersebut?
Emas dan perak hanya bisa dibeli dengan kontan, yakni dari tangan-ke-tangan. Penyerahan barang dan pembayaran secara langsung merupakan syarat sahnya jenis jual beli kedua barang ini, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, harus sama beratnya dan harus diserah-terimakan secara langsung. Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan juga.”
Lalu bolehkah membeli emas atau perak dengan kartu kredit?
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa serah-terima langsung adalah penyerahan barang dari tangan-ke-tangan. Dan dalam syari’at sendiri sifatnya mutlak, pembatasannya dikembalikan kepada kebiasaan yang ada. Lembaga Pengkajian Fiqih Islam telah mengeluarkan fatwa dibolehkannya membeli emas atau perak dengan menggunakan cek dengan syarat bahwa serah-terimanya diselesaikan saat transaksi. Penyerahan cek itu disetarakan dengan penyerahan uang secara langsung ketika diserahkan kepada pihak bank yang bekerja sama dengan pedagang. Kalau pihak pedagang telah memegang cek tersebut, berarti serah terima barang dan pembayaran yang disyaratkan dalam jual beli kedua barang itu telah terwujud.
Dengan demikian kartu kredit juga bisa dijadikan pembayaran langsung sehingga bisa digunakan untuk membeli emas atau perak. Sementara alat tukar yang tidak bisa dijadikan pembayaran langsung, tidak bisa digunakan untuk membeli kedua barang itu telah terwujud.5
Penukaran Uang dengan Kartu Kredit
Asal kartu kredit berfungsi sebagai kartu internasional, dan pemegangnya bisa menggunakannya di negara manapun. Kalau ia menarik dananya dengan menggunakan mata uang asing yang berbeda nilainya dengan mata uang yang dijadikan alat transaksi dalam kalkulasi nanti, maka pihak yang mengeluarkan kartu akan menutupi biaya pengeluaran dengan mata uang asing itu, kemudian memperhitungkannya atas nasabahnya itu dengan mata uang lokal dengan menggunakan harga penukaran yang disepakati bersama. Namun bolehkah membayar utang dengan menggunakan mata uang yang berbeda dengan mata uang yang dijadikan utang?
Tidak diragukan lagi bahwa serah-terima langsung merupakan syarat sahnya penukaran uang, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan juga.”6
Penukaran uang yang ada dalam tanggungan (hutang) adalah boleh asal harganya dengan harga saat itu, bila kedua orang penukar berada di lokasi berbeda, dan tidak ada utang-piutang di antara mereka berdua. Yakni disyaratkan agar salah seorang di antara mereka tidak memiliki tanggungan terhadap yang lain.
Penukaran dengan cara ini terkadang dilakukan antara uang yang berada dalam kepemilikan namun tidak ada dalam lokasi transaksi, dengan uang yang ada di lokasi transaksi, atau bisa juga antara dua jenis mata uang yang sama-sama dalam kepemilikan dan tidak ada dalam lokasi transaksi. Kasus ini disebut pengguntingan atau penukaran utang. Pengguntingan ini hanya bisa dilakukan pada sebagian kecil penukaran saja, sementara sisanya ditutupi mata uang lain, sehingga ketika berpisah sudah tidak ada hitung-hitungan lagi.
Dasarnya adalah hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma yang menceritakan; “Kami pernah menjual unta di Baqi’. Kami menjualnya dengan uang emas, lalu mendapatkan bayaran dengan uang perak. Atau menjualnya dengan uang perak, dan mendapatkan bayaran dengan uang emas. Aku menanyakan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menjawab; ‘Boleh saja, asal dijual dengan harga hari itu juga, apabila kalian keluar dari transaksi tanpa ada apa-apa di antara kalian.’”
Dengan demikian boleh saja melakukan tansaksi dengan perbedaan mata uang ini, dengan catatan bahwa kalkulasinya dilakukan berdasarkan harga penukaran hari standar atau hari pengguntingan. Yakni hari pendebetan rekening yang dimiliki oleh pemegang kartu.
Uang Administrasi Penarikan Uang Tunai
Di antara jenis kartu kredit ada yang bisa digunakan untuk menarik uang tunai dari rekening bank bersangkutan. Biasanya pihak bank akan mengambil uang administrasi dari pengambilan uang tunai itu. Sejauh mana uang administrasi itu dibolehkan?
Para ulama fikih kontemporer berbeda pendapat tentang hukum uang-uang administrasi semacam itu, berdasarkan perbedaan jenis penarikan itu, apakah sekedar penarikan uang tunai dari rekening pemegang kartu saja, atau ada unsur pinjaman?
Di antara ulama ada yang berpandangan bahwa hukum uang-uang administrasi itu boleh, karena tidak lebih dari sekedar upah, imbalan dari pentransferan uang nasabah dari rekeningnya menuju berbagai lokasi dimana uang itu digunakan, yang tentu saja membutuhkan biaya operasional. Jadi kedudukannya adalah sebagai upah transfer uang dari satu negeri ke negeri lain. Hanya saja sistem transfer tersebut terbalik. Karena pihak bank yang mewakili pihak yang mengeluarkan kartu kredit itu terlebih dahulu membayarkan uang, kemudian baru memintanya dari pihak yang memegang kartu untuk merealisasikan syarat pembayaran langsung dalam penukaran mata uang ini. Jarak yang ada antara penyerahan uang kontan dengan penutupan utang tidaklah menjadi tujuan dalam proses ini, juga bukan termasuk penentunya. Inilah pendapat yang akhirnya dipilih oleh Lembaga Keuangan Kuwait dan Bank Islam Yordania.
Ada juga yang berpendapat bahwa uang administrasi dalam kasus ini haram hukumnya. Karena proses penarikannya bersifat utang atau peminjaman dari pihak pemegang kartu, atau dari pihak bank yang mewakilinya. Maka uang yang diambil sebagai imbalannya termasuk riba yang diharamkan. Inilah pendapat yang diambil oleh bank ar-Rajihi.
Menurut kami yang paling benar adalah harus dibedakan antara dua kondisi berbeda:
Pertama, kalau penukaran itu melalui penarikan dana langsung dari rekening nasabah, lalu diambil uang administrasi-nya, cara demikian disyari’atkan. Demikian juga apabila pihak bank yang mengeluarkan kartu memiliki uang di bank yang mewakili sehingga bisa menutupi biaya dana yang ditarik tersebut.
Kedua, ketika bentuknya adalah pinjaman. Maka imbalan yang diambil ketika itu adalah riba yang diharamkan. Demikian juga apabila rekeningnya adalah rekening bebas, atau dana yang ada tidak cukup untuk menutupi biaya yang ditarik, wallahu a’lam.
Tidak diragukan lagi bahwa keharaman dalam kasus ini berkaitan dengan hubungan antara pihak bank yang mengeluarkan kartu dengan bank yang mewakilinya. Adapun nasabah sendiri, kerjanya hanya menarik dana yang dititipkan pada pihak yang mengeluarkan kartu. Uang administrasi yang dia keluarkan adalah upah dari kesulitan yang dihadapi pihak yang mengeluarkan kartu, dengan upaya dan segala tanggung jawab berikut biaya yang juga harus dikeluarkan untuk tujuan itu. Pihak nasabah tidak memiliki kaitan dengan urusan antara pihak bank yang mengeluarkan kartu dengan bank yang mewakilinya.
Kesimpulan
Yakni kartu yang dikeluarkan oleh pihak bank dan sejenisnya sehingga memungkinkan pihak pemegangnya untuk memperoleh kebutuhannya berupa barang-barang, pelayanan dan lain sebagainya secara utang.
Kartu kredit ini ada dua macam; kartu kredit pinjaman yang tidak bisa diperbaharui dan yang tidak bisa diperbaharui. Apabila pihak nasabah terlambat membayar utangnya pada kartu kredit jenis yang tak bisa diperbaharui, keanggotaannya dicabut, kartunya ditarik dan persoalannya diangkat ke pengadilan. Namun kalau terlambat pembayarannya dengan kartu yang dapat diperbaharui, ia diberikan dua denda; karena keterlambatan dan karena penangguhan. Namun penggunaan kartu dapat dilanjutkan.
Pendudukan Masalah Kartu Kredit
Kartu kredit ini membentuk tiga macam hubungan:
  • Hubungan antara pihak yang mengeluarkan kartu dengan pemegangnya. Yang paling dekat bila hubungan ini didudukkan sebagai hubungan jaminan, peminjaman dan penjaminan.
  • Hubungan antara pihak yang mengeluarkan kartu dengan pedagang. Yang paling jelas, kedudukan hubungan ini adalah atas dasar penjaminan dan jaminan.
  • Hubungan antara pemegang kartu dengan pedagang, kedudukannya ditentukan oleh jual-beli atau penyewaan sesuai dengan karakter yang disepakati antara mereka berdua, selain juga ada sistem hiwalah (pengalihan pembayaran).
Hukum Syariat tentang Kartu Kredit
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum syariat kartu-kartu kredit tersebut berdasarkan perbedaan pendapat mereka terhadap pengaruh dari syarat riba atau syarat rusak terhadap sahnya suatu transaksi. Karena umumnya transaksi pengeluaran kartu ini mengandung komitmen-komitmen berbau riba yang mengharuskan pelanggan membayar bunga riba atau denda finansial akibat keterlambatan menutupi pembayaran utangnya.
Sebagian ulama berpandangan bahwa kartu tersebut dibolehkan namun syarat-syarat tersebut dianggap tidak sah, yakni bagi orang yang meyakini bahwa ia tidak akan terjerumus dalam jebakan syarat tersebut. Karena syarat-syarat tersebut dalam syari’at sudah terbatalkan dengan sendirinya.
Ada juga ulama yang tidak membolehkan kartu tersebut karena adanya syarat-syarat tersebut.
Adapun prosentase keuntungan yang diambil oleh pihak yang mengeluarkan kartu dari pihak pedagang, itu bisa didudukkan sebagai uang administrasi (uang jasa) sebagai imbalan dari diberikannya pembayaran pihak pelanggan kepadanya. Beberapa lembaga syari’at masa kini telah mengeluarkan fatwa yang membolehkannya.
Dibolehkan membeli emas atau perak dengan kartu kredit karena serah-terima barang dan pembayaran dapat direalisasikan dalam kasus ini.
Dana yang ditarik melalui kartu kredit ini juga bisa dihitung dengan mata uang lain asal kalkulasinya diselesaikan berdasarkan standar harga penukaran hari penutupan, yakni hari ditutupnya rekening yang dibawa oleh pemegang kartu kredit.
Catatan Kaki:
  1. ^ Dalam Fikih Mu’amalah kalimat ini biasa disebut bithaqah isti’man bukan bithaqah i’timan. Artinya adalah memberikan hak kepada orang lain terhadap hartanya dengan ikatan kepercayaan, sehingga orang tersebut tidak bertanggung jawab kecuali bila ia melakukan keteledoran atau pelanggaran. Transaksi itu sendiri menurut para ulama fikih adalah transaksi bebas bukan penyerahan hak. Misalnya dikatakan kepada seseorang; “Silakan beli barang saya ini seperti kamu biasa membelinya dari orang lain karena saya tidak mengerti harga.” Maka ia membelinya dengan harga yang biasa dia keluarkan untuk membeli barang sejenis.
  2. ^ Demikianlah yang didefinisikan dalam kamus Oxford dengan sedikit tambahan. Di situ didefinisikan; “kartu yang dikeluarkan oleh pihak bank dan sejenisnya untuk memungkinkan pembawanya membeli barang-barang yang dibutuhkannya secara utang.” Sementara Kamus Ekonomi Arab menjelaskan; “Sejenis kartu khusus yang dikeluarkan oleh pihak bank -sebagai pengeluar kartu-, lalu jumlahnya akan dibayar kemudian. Pihak bank akan memberikan kepada nasabahnya itu rekening bulanan secara global untuk dibayar, atau untuk langsung didebet dari rekeningnya yang masih berfungsi.” Oleh Ahmad Zaki Badwi dalam Mu’jam al-Musthalahat at-Tijariyah at-Ta’awuniyah Arab-Inggris-Perancis, cetakan Beirut, oleh Dar an-Nahdhah al-Arabiyah, percetakan plus penerbitan tahun 1984 M, hal. 62.
  3. ^ Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab al-Buyu’, Bab Idza Isytaratha Syuruthan fi al-Bai’ La Tahiilu, no. 2168; dan juga dalam kitab asy-Syira’ wa al-Bai’ Ma’a an-Nisa’, no. 2155; kemudian lihat no. 2536, 2562 dan 6752; dan Muslim dalam Kitab al-Itq, Bab Innama al-Wala’ Liman A’taqa, no. 1504.
  4. ^ Yakni hadits terdahulu.
  5. ^ Penjual emas bisa melakukan dua cara untuk mendapatkan pembayaran harga emasnya dari pelanggan yang memegang kartu:
    1. Menggunakan mesin komputer -pembayaran cepat- yakni dengan cara menggesekkan kartu ini pada alat tersebut yang secara otomatis akan melakukan proses cepat berteknologi canggih dengan mentransfer biaya barang itu ke rekening pedagang. Inilah cara yang bisa digunakan untuk mendapatkan pembayaran secara instan.
    2. Menggunakan mesin manual, dimana dengan menggunakan alat ini dibutuhkan waktu tidak kurang dari tiga hari, sebagaimana transfer harga barang ke rekening pedagang juga tergantung pada sampainya rekening itu kepada pihak yang mengeluarkan kartu.
  6. ^ Hadits shahih, sebagaimana dijelaskan sebelumnya.