Minggu, 22 Juli 2012

Islam dan Kekerasan


Pada mulanya adalah pertemuan. Tepatnya pertemuan antara saya dan KH.Husni Hidayat 13 april 2011 di kawasan Nasr City,Cairo. Waktu itu saya ngobrol-ngobrol santai sekilas tentang femnomena yang terjadi di Indonesia mengenai kekerasan yang semakin marak akhir-akhir ini, perda-perda syari’ah yang berkembang di sebagian propinsi di indonesia dan juga kasus pembantaian Jama’ah Ahmadiyah. Terjadilah sebuah obrolan yang agak serius menurut beliau hal itu terjadi karena semakin bayaknya golongan fundamentalis di negeri ini, mereka meyakini bahwa pemikiran politik Islam bukan hanya sebuah agama, tetapi juga sebuah sistem hukum yang lengkap, sebuah idiologi universal dan sistem yang paling sempurna yang mampu memecahkan seluruh permasalahan kehidupan umat manusia. Dari sinilah akhirnya para penganut paham ini mewajibkan kepada kaum muslimin untuk mendirikan negara Islam. Mereka juga meyakini bahwa syariat Islam harus menjadi fundamen dan jiwa dari agama, negara dan dunia tersebut. Syari’at dengan demikian diinterpretasikan sebagai Hukum Tuhan (Divine Law). (baca;Islamku Islam Anda Islam Kita).
Para penganut paham ini melakukan berbagai cara demi sebuah paradigma yang begitu agung menurut mereka, melakukan dokrin-doktrin pada mahasiswa yang sangat minim pemahaman agamanya, melalui Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dan penyerobotan masjid-masjid di lingkungan Nahdiyin misalnya. Kasus semacam ini sudah sering trjadi di beberapa tempat di lingkungan NU. Maraknya tarbiyah di lingkungan kampus mengkibatkan doktrin ini semakin meluas dikarenakan mahasiswa yang pulang ke kampung halaman tentunya menyebarkan paham-paham seperti itu dengan pemahaman-pemahaman yang sangat membahayakan, karena mereka ini telah mengadopsi kultur asing secara tidak cerdas. Usaha melenyapkan  budaya dan tradisi bangsa menggantinya dengan budaya dan tradisi yang benuansa Wahabi dan Ikwanul Muslimin sebagai tradisi budaya Islam.
Di tangan merekalah amr ma’ruf nahi munkar telah dijadikan legitimasi untuk melakukan paksaan, penyerang terhadap siapapun pihak yang di anggap bertentengan dengan mereka, bahkan tidak segan-segan membunuh. Munculnya ormas yang bergaris keras yang berpaham Wahabi atau Ikhwanul Muslimin dalam beberapa tahun terakhir ini telah “behasil” mengubah wajah Islam indonesia menjadi bringas, intoleran, agresif dan penuh kebencian. Padahal selama ini Islam indonesia terkenal lembut toleran dan penuh kedamain. Kelompok-kelompok ini berusaha merebut simpati umat dengan jargon memperjuangkan dan membela Islam, dengan dalih tarbiyah dan amar ma’ruf nahi munkar. Mereka mudah terpancing, terpesona dan tertarik dengan simbol—simbol keagamaan, mereka memahai Islam tanpa mengerti substansi agama Islam sebagaimana yang diajarkan oleh wali songo dan para pendiri bangsa ini.
Aksi-aksi Islam garis keras akhir-akhir ini sudah sangat memprihatinkan sekali, pembantaian terhadap Jama’ah Ahmadiyah semakin menjadi-jadi (seperti kejadian di kabupaten Banten dan Temanggung) dalam hal ini sungguh sangat ironi sekali dimanakah tindakan aparat pada saat itu? mengapa hal itu bisa terjadi?. Yang paling mengenaskan lagi pembantain itu bersamaan dengan triakan takbir berkali-kali. Sungguh aneh sekali dengan bangganya mereka membunuh orang tanpa merasa berdosa sedikitpun, ya memang bagi mereka, hal semacam itu adalah jihad. Apakah dengan mengtasnamakan kebenaran nyawa manusia tidak ada harganya sama sekali??. Bukankah agama Islam itu   adalah agama yang penuh kedamaian dan toleran dan bahkan tanpa adanya paksaan??. NU sebagai ormas terbesar di Indonesia yang anggotanya hampir tujuh puluh juta, bisa menjadi soko guru yang mampu untuk tetap menyangga bangunan negara dan bangsa Indonesia, dengan ctatan melakukan revitalisi spritual dan kembali ke nilai-nilai utamanya. Dengan demikian, para ulama bisa membimbing yang berkuasa dan tidak membiarkan dirinya diperalat oleh mereka. Nenek moyang kita menyakini hal ini sebagi dharma manusia, dan karena alasa itulah wayang kulit selalu menggambarkan raja-raja bersikap hormat dan tunduk kepada para resi, dan bukan sebalikny.(baca; Iusi Negara Islam)
Tentang hal ini saya teringat pada sosok almarhum KH.Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang tidak pernah gentar dalam pembelaan terhadap siapa saja tidak pandang bulu, tidak membedakan agama, etnis, warna kulit, posisi sosial, bahkan dia tidak pernah ragu untuk mengorbankan image sendiri untuk membela korban yang perlu dibela.. Berbagai tuduhan  dilontarkan terhadapnya sperti klenik, neo PKI, dibaptis masuk Kristen, kafir, murtad, agen zionis Yahudi, tidak akan menjadi beban bagi dirinya ketika harus membela korban. (baca;Islamku Islam Anda Islam Kita).
Gus Dur juga melalakukan pembelaan terhadap rakyat Irak dan saddam Husein dalam berhadapan dengan kejahatan Presiden Amerika Serikat George W.Bush Jr., rakyat Palestina yang terus menerus menjadi bulan-bulanan Israel, “Saat itu saya dan Gus Dur diundang Yitzak Rabin ke Israel. Pada waktu itu terjadi perjanjian perdamaian antara Israel dan Yordania. kami mendengar dari pihak Israel bahwa mereka ingin sekali berdamai. Mereka bilang, hanya orang yang berperang bisa merasakan betapa berartinya suatu perdamaian. Bagi yang tak mengalami pedihnya peperangan, sulit menghayati arti damai," tutur Djohan. Setelah mendengar suara hati dari Israel itulah, demikian Djohan bercerita, Gus Dur tergerak untuk ikut membantu terjadinya perdamaian antara Israel dan Palestina. "Tapi bagaimana bisa kita membantu kalau kita tak punya hubungan diplomatik dengan Israel. Di sini lah mulai timbul keinginan Gus Dur untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Israel," kata Djohan.

           Djohan yang pernah menyunting buku "Pergolakan Pemikiran Islam, Cacatan Harian Ahmad Wahib" itu pada hakikatnya hendak menjelaskan kepada publik latar belakang yang mendasari pemikiran Gus Dur. Gagasan Gus Dur mengenai Indonesia perlu menjalin hubungan diplomatik dengan Israel mendapat kecaman keras. Bahkan Gus Dur sampai harus menerima tuduhan menyakitkan dari beberapa kalangan umat Islam sendiri. "Gus Dur antek Israel," kata sebagian di antara mereka. Tidak berhenti di situ saja pembelaan Gus Dur juga di lakukan terhadap rakyat tertindas di negara-negara berkembang atas dominasi kapitalis dunia dalam globalisasi.
Setelah Gus Dur mangkat kita masih mempunyai sosok Gus Mus teman akrab beliau, baru saja Gus Mus datang ke Brussel, Kerajaan Belgia, atas undangan dari H. E. Werner Langen (asal Jerman), Ketua Delegasi Parlemen Eropa untuk Hubungan-hubungan dengan Negara-negara Asia Tenggara dan ASEAN, dan H. E. Arif Havas Oegroseno, Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Belgia dan Uni Eropa. Undangan ke Amerika datang dari Walter Lohman, Direktur Pusat Studi Asia di The Heritage Foundation, sebuah think-tank untuk kebijakan-kebijakan dalam dan luar negeri Amerika Serikat. Apakah Gus Mus memohon-mohon untuk bertemu mereka? Silahkan menduga-duga sendiri, apabila tidak ada jaminan bahwa omongan Gus Mus bisa dipercaya.
Hasil diskusi di The Heritage Foundation menampilkan data bahwa peningkatan populasi muslim di Amerika lebih banyak karena pindah agama (konversi) ketimbang imigrasi. Toh dirasakan pula bahwa di kalangan kaum muslimin Amerika semakin berkembang pula paham keagamaan Wahabi-Salafi – secara eksplisit disebut oleh para pembicara Amerika dalam diskusi tersebut—yang mereka tengarai bersikap ekslusif terhadap masyarakat Amerika umumnya dan subversif terhadap sistem sosial-politik Amerika. Beberapa tahun yang lalu, FBI (Federal Bureau of Investigation), dalam salah satu operasi penggeledahan, menemukan dokumen milik seorang tokoh Wahabi-Salafi dan pemimpin jaringan Al Ikhwanul Muslimun Amerika yang berisi cetak biru strategi kelompok mereka dalam “jihad peradaban” untuk menghancurkan Amerika dari dalam.  Isu-isu seputar hal ini dengan sendirinya menambah bumbu yang menyengat atas krisis hubungan Amerika dengan dunia Islam sejak War on Terror. Islamo-phobia di tengah masyarakat non-muslim Amerika pun tumbuh kian subur pula.
  Hal serupa terjadi di Eropa diskusi anggota-anggota Parlemen Eropa di Brussel terungkap bahwa pemerintah negara-negara Eropa dan masyarakat (pribumi) Eropa pada umumnya dewasa ini sedang dilanda kegelisahan menyangkut masalah-masalah yang muncul di seputar keberadaan para imigran muslim dari Afrika Utara, Timur Tengah, Asia Tengah dan Pakistan, yang cenderung meningkat pesat jumlahnya. Di satu sisi, membanjirnya imigran itu melahirkan masalah-masalah ekonomi dan kriminalitas, ditambah kecenderungan makin menguatnya di kalangan kaum imigran itu “ideologi Islam” yang bersikap “subversif” terhadap sistem sosial-politik dan keseluruhan eksistensi masyarakat Eropa. Di pihak lain, masyarakat Eropa pribumi pun cenderung makin meningkat kecurigaannya terhadap Islam sehingga menguat pula sikap Islamo-phobia (membenci Islam secara apriori) di kalangan mereka.
Para pengundang itu tertarik kepada buku “Ilusi Negara Islam” yang baru-baru ini diterjemahkan kedalam bahasa Inggris (dengan judul: “The Illusion of an Islamic State”) karena buku itu menggambarkan pengalaman Indonesia menghadapi berkembangnya ideologi Wahabi-Salafi dan ideologi-ideologi Islam radikal lainnya.  Mereka beranggapan, buku itu dapat mengispirasi para pembuat kebijakan dan masyarakat umum di Eropa dan Amerika dalam menyikapi perkembangan Islam di wilayah masing-masing.
            Gus Mus diundang karena dia adalah penulis epilog untuk buku itu, dengan tulisannya yang berjudul: “Jangan Berhenti Belajar”. Lebih dari itu, Gus Mus juga dipandang sebagai “the next in the row” (orang berikutnya) setelah Gus Dur (Kiyai Haji Abdurrahman Wahid) yang telah diterima dan diyakini oleh masyarakat global sebagai personifikasi faham keislaman yang moderat, toleran dan pro-human (berpihak pada kemaslahatan umat manusia secara keseluruhan).
            Orang-orang itu mengundang Gus Mus tanpa mengatakan apa yang mereka harapkan dari Gus Mus atau penjelasan apa yang ingin mereka dapatkan dari Gus Mus. Maka dalam orasi-orasinya pada forum-forum yang diselenggarakan oleh para pengundang itu, Gus Mus pun –seperti yang biasa ia lakukan dalam ceramah-ceramah pengajian kampung-sekedar menyampaikan gagasan-ga gasannya sendiri tanpa memperdulikan kemungkinan persepsi atau tanggapan apa pun dari para pendengarnya.

                Pemahaman Islam Gus Mus, yaitu sebagai rahmatan lil ‘alamin, oleh Gus Mus sendiri diyakini sebagai paham yang dianut oleh mayoritas umat Islam di seluruh dunia, dan berkaitan dengan itu, Gus Mus mempersilahkan untuk mengecek kepada tokoh-tokoh besar dunia Islam dewasa ini, seperti Grand Sheikh Al Azhar, Kairo, Syaikh Muhammad Thonthowi, Grand Mufti Syria, Syaikh Badruddin Hasun, Rais ‘Aam Nahdlatul Ulama, Syaikh Ahmad Muhammad Sahal bin Mahfudh, dan lain-lain.
                  Kehadiran Gus Mus di Eropa dan Amerika memancing ketertarikan berbagai pihak. Tidak kurang dari tim penasehat keamanan Presiden Obama yang terkait dengan Islam mengundang Gus Mus ke Gedung Putih untuk didengar pandangan-pandangannya. Demikian pula  Center for Security Policy, sebuah think-tank kebijakan keamanan Amerika yang dipimpin oleh Frank J. Gaffney Jr., mantan asisten Menteri Pertahanan Amerika Serikat bidang kebijakan keamanan internasional.
            Di kantor Center for Security Policy, tidak jauh dari Capitol Building (Gedung Parlemen Amerika), Gus Mus dirubung sekumpulan orang sangar yang sebagain besar Islamo-phobs (pembenci Islam). Mereka menghujani Gus Mus dengan pertanyaan-pertanyaan dan gugatan-gugatan nyelekit tentang Islam. Tapi mereka segera dibikin terlongong-longong oleh jawaban-jawaban santai Gus Mus yang berisi penjelasan-penjelasan yang belum pernah mereka dengar dari referensi Wahabi-Salafi, yang selama ini menguasai persepsi mereka tentang Islam. Mereka bingung: kalau Islam itu seperti yang dijelaskan oleh Gus Mus, mereka mau membenci apanya? Berbagai kajian dan proposal strategi yang bertahun-tahun mereka susun untuk mengganyang Islam secara global jadi buyar tidak karuan, karena asumsi-asumsinya tentang Islam runtuh.

Lebih bengong lagi mereka mendengar keluhan Gus Mus,

 “Salah satu sahabat terdekat Amerika adalah Arab Saudi. Tapi kaum simpatisan Arab Saudi di Indonesia melaknat Amerika setiap hari. Sedangkan kami, hanya karena kami memegangi sikap moderat dan toleran dalam ber-Islam, oleh mereka dituduh antek Amerika. Padahal Amerika sama sekali tidak mengenal kami!”.


Referensi ; dari berbagai sumber.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar